Ilustrasi Menara BCA/Dok BCA
Dalam sebuah kesempatan, Djohan sempat bercerita bahwa penunjukannya sebagai Presiden Direktur di BCA kala itu untuk membenahi keuangan BCA yang diambang pailit pasca gejolak politik, krisis ekonomi hingga kebijakan IMF yang akan melikuidasi 16 bank swasta pada 1998.
Gejolak politik dan krisis ekonomi kala itu membuat kepercayaan masyarakat merosot kepada industri perbankan swasta sehingga terjadi rush atau banyak nasabah menarik dananya dan memindahkan ke bank BUMN hingga ke Singapura. Akibat aksi tersebut, likuiditas BCA semakin menipis dan dibayangi oleh kredit macet.
"Karena kepemilikan saham dan asosiasi dengan penguasa pada waktu itu yang ada pergantian maka terjadi kehilangan kepercayaan atas keberlangsungan bank ini. Dan karena itu terjadi rush,” ujar Emir dalam acara Top 100 CEO & The Next Leader Forum 2023 melalui siaran Youtube yang dikutip (17/12).
Pada kondisi tersebut, yang ada dibenaknya kala itu ialah segera mengembalikan kepercayaan nasabah dan kepercayaan karyawan kepada lembaga BCA. Setelah berangsur membaik, Djohan melakukan refocusing bisnis dengan mengembangkan payment settlement agent untuk membantu transaksi bisnis dari para nasabah setianya.
Dengan tangan dingin Djohan, dirinya menekankan 3 strategi untuk meningkatkan kinerja bank, yakni mengembalikan likuiditas, meraih profit dan menjaga profitability bank dengan melakukan institution building.
Berkat pemikiran yang cemerlang tersebut, BCA sudah mampu IPO pada Mei 2000 saat banyak bank swasta yang masih melakukan restrukturisasi. Kini BCA menjadi bank swasta dengan aset tertinggi di Indonesia yang mencapai RP1.434 triliun di September 2024.