Jakarta, FORTUNE - Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan banyak koperasi simpan pinjam (KSP) yang melakukan praktik shadow banking. Hal ini lantaran koperasi tersebut menolak pengawasan OJK, dan berlindung di balik filosofi jati diri koperasi.
“Tapi, kami sudah ada kesepakatan dengan OJK dalam masa transisi dua tahun ke depan. Jika mereka ingin menjalankan KSP, maka harus kembali menjadi KSP murni (closed loop) atau pindah sebagai koperasi yang open loop,” ujarnya dalam keterangan pers, dikutip Kamis (2/2).
Ia menekankan koperasi yang menjalankan praktik jasa keuangan idealnya memang bukan hanya diawasi anggota, tetapi juga oleh otoritas yang memiliki instrumen pengawasan lengkap, termasuk pengenaan sanksi yang bertingkat.
Fenomena shadow banking juga sempat ramai pada 2020 dengan kasus raibnya dana milik atlet E-Sport, Winda Lunardi, pada salah satu bank besar di Indonesia senilai Rp22,9 miliar. Kasus tersebut menarik perhatian banyak orang, lantaran nilai kerugiannya yang sangat besar.
Ternyata, praktik shadow banking dilakukan oleh kepala cabang bank tersebut. Aset berupa uang yang dikelola oleh oknum pimpinan cabang tersebut dijalankan dengan inisiatif pribadinya sendiri. Apalagi, pelaku juga memberikan buku tabungan dan juga kartu ATM kepada nasabah yang bersangkutan.
Jadi, dana yang seharusnya diterima oleh bank dan dikelola oleh pihak bank, dikelola secara pribadi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Lantas sebenarnya apa itu shadow banking? Lalu, apa dampaknya bagi sistem keuangan? Berikut rangkuman dari berbagai sumber.