Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Pinjol
Pinjol

Intinya sih...

  • OJK masih memperbolehkan praktik tadpole di industri pinjol dengan batasan tertentu.

  • Praktik skema pembayaran tadpole harus mematuhi ketentuan batasan manfaat ekonomi, transparansi, dan kualitas pendanaan TWP90 kurang dari 5 persen.

  • Skema tadpole digunakan untuk mengurangi risiko gagal bayar namun dianggap tidak adil dan memberatkan bagi peminjam.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih memperbolehkan secara terbatas praktik tadpole di industri pinjaman daring atau pinjol.

Praktik tadpole merupakan skema pembayaran cicilan yang diibaratkan kecebong, kepala besar dengan badan kecil, ekor meruncing. Artinya, tagihan terbesar dibebankan pada awal tenor kemudian disusul angsuran yang jauh lebih kecil atau sama rata pada periode berikutnya.

Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, Dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Agusman mengatakan bahwa praktik tersebut telah dibatasi. Namun praktik skema pembayaran tadpole masih bisa dilakukan sepanjang mematuhi ketentuan batasan manfaat ekonomi yang berlaku.

Selain itu, skema tersebut harus memenuhi aspek transparansi, yaitu menyampaikan informasi secara lengkap kepada penerima dana maupun pemberi dana untuk memastikan para pihak telah memahami dan menyepakati skema pembayaran angsuran dengan jumlah yang besar pada periode awal (front-loaded installments/tadpole). Terakhir, memenuhi kualitas pendanaan TWP90 kurang dari 5 persen.

"OJK telah menerapkan langkah mitigasi dengan menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi serta mewajibkan Penyelenggara Pindar melakukan penilaian kelayakan kredit secara memadai, termasuk memperhatikan repayment capacity, debt to income ratio, dan eksposur pendanaan Penerima Dana di Penyelenggara lain," jelas Agusman dalam jawaban tertulis, Kamis (18/12).

Dia berharap, pengaturan tersebut dapat mendorong praktik usaha pindar yang lebih sehat, berkelanjutan, serta sejalan dengan prinsip kehati-hatian dan pelindungan konsumen.

Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, menjelaskan skema tadpole ini kerap digunakan untuk mengurangi risiko gagal bayar di akhir cicilan. Perusahaan akan merasa aman ketika sebagian besar cicilan sudah dibayarkan di awal. Sehingga dampak jika terjadi gagal bayar di akhir akan semakin kecil.

Namun, skema ini tidak adil dan memberatkan bagi peminjam. Sebab nasabah yang meminjam itu sudah pasti karena tidak mempunyai uang di awal.

"Ketika harus membayar lebih besar di awal, maka yang didapatkan akan relatif lebih sedikit. Pinjaman daring seharusnya memberikan skema yang adil bagi konsumen," ujar Nailul kepada Fortune Indonesia, Kamis (18/12).

Contohnya, pokok pinjaman sebesar Rp1.000.000 dengan bunga Rp300.000, maka total kewajiban menjadi Rp1.300.000.

Dalam skema tadpole dengan tiga kali cicilan, pembayaran dilakukan dengan komposisi Rp700.000 pada cicilan pertama, Rp400.000 pada cicilan kedua, dan Rp200.000 pada cicilan ketiga. Dengan skema tersebut, pokok pinjaman pada dasarnya telah lunas pada cicilan kedua, berbeda dengan skema konvensional yang membagi cicilan secara merata setiap bulan.

Jika perusahaan ingin memberikan fleksibilitas pembayaran, seharusnya tidak mewajibkan cicilan besar di awal. Konsumen bisa diberi opsi untuk membayar lebih besar di awal secara sukarela, misalnya melalui mekanisme dana deposit yang dapat digunakan bila diperlukan dan hanya dipotong jika tidak terpakai, bukan skema tadpole yang bersifat wajib.

Selain itu, menurut Nailul skema tadpole yang ditawarkan juga harus mematuhi aturan yang ada, misalnya dari sisi bunga maksimal tidak boleh lebih dari 0,3 persen per hari. Perhitungan bunganya pun harus terbuka disampaikan ke konsumen.

"Keterbukaan informasi tersebut juga di biaya-biaya lainnya. Tidak boleh ada hidden cost yang ditutupi dengan semua skema," ujar Nailul.

Editorial Team

EditorEkarina .