Penggunaan IP Jadi Jaminan Pembiayaan Belum Berjalan Optimal

Jakarta, FORTUNE – Penggunaan hak kekayaan intelektual (Intellectual Property/IP) sebagai jaminan atas pembiayaan industri gim Tanah Air dinilai masih berjalan kurang optimal, meski sudah ada peraturan yang menjamin.
CEO Digital Happiness, Rachmad Imron, mengatakan bahwa salah satu penyebab IP gim belum bisa digunakan sebagai jaminan pembiayaan adalah karena sulitnya menilai valuasi sebuah IP.
"Bagaimana menilai instrumen-instrumen di dalamnya? Kita belum belum terbiasa, belum paham benar tentang apa sih yang dinilai gitu, belum clear juga tentang poin-poin pentingnya. Inisiasinya bagus, tapi ke bawahnya itu belum,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Selasa (27/2).
Menurut Imron, tidak mudah membangun sebuah ekosistem IP yang bisa berjalan lancar di Indonesia. Berdarkan pengalamannya dalam mengembangan gim Dreadout lewat investasi sendiri, bahkan bisa mengembangkannya menjadi sebuah film layar lebar.
“Misalnya kita mau bikin Dreadout 3, saya mau kasih agunan ke bank dengan IP saya. Nah ini masih nggak visible buat kami, Bank juga bingung itu ngitungnya bagaimana,” katanya.
Proven case
Imron menyadari bahwa Indonesia memang belum bisa menyamai kualitas gim dari negara-negara yang industri gimnya jauh lebih dulu terbangun, seperti Amerika Serikat atau Jepang. Hal ini yang menjadikan banyak industri gim Indonesia belumtbanyak dilirik oleh para pembiaya dari luar negeri.
Imron berharap lembaga-lembaga pembiayaan, dengan industri gim. Dengan demikian, biaya yang digelontorkan dan jaminan berupa IP bisa lebih visible untuk diterapkan. “Semua bisa saja, tapi yang paling penting, kita butuh proven case,” katanya.
Proven case, kata Imron, adalah sebuah pembuktian bahwa satu IP bisa benar-benar bernilai dan bisa jadi jaminan. Ia menceritakan tentang satu judul gim asal Polandia, yakni The Witcher, yang IP-nya berhasil dikembangkan dalam banyak bentuk, mulai dari sekuel gim, sampai dengan film.
“Sampai akhirnya dijadikan national treasure sama Polandia. Bahkan, bisa membuat Polandia switching dari industri tekstil ke industri digital,” ujarnya.