Jakarta, FORTUNE – Perekonomian global yang dinamis dan dibayangi oleh potensi resesi, kenaikan suku bunga, hingga kondisi geopolitik diperkirakan memengaruhi pergerakan ekonomi Indonesia pada tahun 2023. Menyikapi situasi tersebut masyarakat harus menyiapkan keuangan yang kuat untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi di tahun kelinci air.
Pakar Feng Shui dari Feng Shui Consulting Indonesia Angelina Fang menjelaskan, tahun Kelinci Air digambarkan sebagai rumput yang hendak bertumbuh tapi berada dalam kabut sehingga masyarakat diimbau untuk adaptif dan bijak dalam mengambil keputusan investasi. Untuk itu, strategi investasi 70/30 bisa menjadi pilihan.
“70 persen berasal dari kekayaan di produk-produk berisiko rendah, seperti obligasi, logam mulia, deposito, dan properti, serta 30 persen lainnya di produk-produk berisiko moderat, seperti reksa dana, saham, dan lainnya,” kata Angelina melalui keterangan resmi yang dikutip di Jakarta, Selasa (7/2).
Ini sektor potensial investasi di 2023
Ia menambahkan, masyarakat bisa mulai berinvestasi di sektor yang masih potensial di tahun 2023. Angelina menyarankan, masyarakat mulai berinvestasi di industri otomotif, elektronik, alat berat, fintech, emas dan perhiasan, hingga telekomunikasi. Angelina memproyeksikan industri-industri tersebut akan memiliki potensi bisnis yang baik di 2023.
“Masyarakat dianjurkan untuk menghindari industri tekstil, kesehatan, perkebunan, dan perhutanan guna mengurangi risiko kerugian tahun ini,” kata Angelina.
Selain itu, DBS Group juga merilis laporan DBS CIO Insights 1Q23 yang mendapati bahwa pasar tenaga akan kerja menguat. Dalam laporan tersebut juga memperkirakan dengan kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) yang tidak seimbang maka jika ada resesi maka hanya terjadi dengan intensitas ringan.
Dollar AS akan bergerak moderat di 2023
Sementara itu, FX Strategist Treasury & Market DBS Bank, Terence Wu mengatakan, penguatan dollar AS terhadap mata uang lain telah melewati level puncaknya dengan ekspektasi pergerakan yang lebih moderat di 2023. Sementara itu, mata uang Asia berpotensi mencatatkan kinerja yang lebih positif dibanding mata uang Developed Market tahun ini.
“Rupiah sendiri berpotensi terapresiasi pasca periode kinerja yang kurang baik di 4Q2022, dan diperkirakan masih memiliki ruang Penguatan,” kata Terence.
Sementara itu, sikap Bank Sentral AS juga menunjukkan pelonggaran terhadap kebijakan moneter. Dengan adanya tantangan peningkatan risiko resesi dan inflasi yang tinggi, obligasi diproyeksikan lebih menguntungkan dibandingkan dengan ekuitas. Ia menyebut, kinerja obligasi secara historis lebih baik dalam keadaan inflasi tinggi/pertumbuhan rendah dan saat ini terdapat kesenjangan yang cukup besar antara hasil obligasi-ekuitas.