ilustrasi ekonomi hijau (unsplash.com/Josh Power)
Selain itu, peran bank sentral negara ASEAN menjadi penting dalam membangun kerangka transisi keuangan hijau. Sebab, masing-masing negara ASEAN memiliki perbedaan dalam kapasitas dan tantangannya harus memiliki asistensi teknis dalam transisi hijau.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga menekankan pentingnya transisi yang terkelola dengan baik untuk memitigasi risiko ekonomi dan sosial. Hal ini dicapai dengan 3 (tiga) konsiderans yaitu kebijakan yang kuat dari otoritas dan dukungan politik pemerintah, kerangka transisi perubahan iklim yang jelas, dan keberlangsungan modal untuk pembangunan proyek berkarateristik hijau.
"Bank sentral berperan bukan hanya untuk mempromosikan keuangan hijau tetapi juga pada tahap implementasinya, terutama pada transisi keuangan. BI berkomitmen bersama swasta dan pemerintah menuju Sustainable Development Growth (SDG)," kata Perry melalui keterangan resmi yang dikutip di Jakarta, Jumat (31/3).
Dalam implementasinya, BI telah menerapkan sejumlah kebijakan di antaranya insentif likuiditas bagi bank yang menjalankan proyek hijau, asistensi teknis keuangan hijau berbalut loka karya untuk pemerintah daerah, manajemen cadangan devisa yang meliputi portofolio sektor hijau dan sukuk.
Dalam dialog tersebut juga memaparkan bagaimana Financial Stability Board (FSB) membuat standar penerapan keuangan hijau (FSB Roadmap on Climate-related Financial Risks) untuk meningkatkan efektivitas kebijakan yang meliputi 4 aspek, yaitu disclosure (pengungkapan), data, asesmen kerentanan, dan instrumen regulasi dan pengawasan.
Lebih lanjut, Direktur Keuangan United Nations Development Programme (UNDP), Marcos Neto menyampaikan arti penting pembiayaan transisi iklim untuk mendukung negara berkembang dalam agenda transisi. Hal ini membutuhkan kerangka transisi yang jelas untuk memastikan konsistensi kebijakan dan dapat mendorong partisipasi sektor swasta.