Jakarta, FORTUNE - Rencana pelaksanaan tax amnesty jilid III menuai kritik. Ekonom senior, Didik J. Rachbini, menilai wacana ini berbau politis dan kurang relevan dengan kebutuhan reformasi pajak yang sesungguhnya.
Menurutnya, tax amnesty yang pernah dilakukan sebelumnya, baik pada 2016-2017 maupun 2022, belum memberikan hasil memadai.
"Hasilnya tidak memungkinkan, tidak bagus. Jadi sebaiknya tidak usah," kata Didik saat ditemui di Jakarta, Kamis (21/11).
Ia juga menyoroti bahwa langkah ini terkesan memiliki motif politik, bahkan berpotensi menjadi bentuk balas budi atas dukungan politik pada ajang pemilihan presiden.
"Motif politiknya cukup tinggi. Sebaiknya DPR mencermati ini dengan baik," ujarnya.
Sekadar catatan, revisi Undang-undang Tax Amnesty baru-baru ini dimasukkan secara tiba-tiba ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Jika disahkan, ini akan menjadi program tax amnesty ketiga dalam sembilan tahun terakhir.
Kritik juga datang dari kebijakan yang dianggap berpihak pada pengusaha besar.
"Masyarakat malah ditambah bebannya dengan PPN, sementara pengusaha besar diberikan keringanan lewat tax amnesty," kata Didik.
Ia menekankan perlunya transparansi pajak, terutama dari kalangan pengusaha besar, untuk memperbaiki rasio pajak Indonesia yang saat ini berada di bawah 10 persen, jauh di bawah Thailand yang mencapai 16 persen dan beberapa negara ASEAN lain yang sudah 18 persen.