Jakarta, FORTUNE - Pinjaman dana melalui pinjaman online (pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending masih menjadi primadona di masyarakat perkotaan seperti di daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jabar).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan mencatat, nilai outstanding (tunggakan) Pinjol pada April 2023 di wilayah Jawa Barat mencapai Rp13,8 triliun dan DKI Jakarta mencapai Rp10,3 triliun. Bahkan, bila jumlah kedua daerah tersebut digabung akan mencapai nilai pinjaman Rp24,1 triliun atau hampir setengah dari outstanding pinjol secara nasional yang mencapai Rp51,46 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI, Siti Mufattahah menilai kondisi itu terjadi lantaran euforia dari sistem digitalisasi layanan keuangan yang tak dibarengi dengan literasi keuangan yang memadai. Ia mengatakan bahwa tak jarang debitur melakukan peminjaman lantaran sekadar tergoda akan kemudahan mendapatkan dana secara mudah tanpa ada alasan kebutuhan yang mendesak.
“Misalnya anak nangis pengen HP misalnya. Kebanyakan ya, tapi ada juga yang produktif dan berhasil itu ada. Cuma bagi orang-orang yang berpikir sempit dan ingin cepat, ingin instan itu yang kadang akhirnya bermasalah,” tutur Siti melalui keterangan resmi yang dikutip di Jakarta, Rabu (12/7).
Siti menyadari bahwa digitalisasi layanan keuangan merupakan keniscayaan sekaligus memunculkan tantangan di masyarakat. Oleh karena itu literasi mengenai keuangan dan digitalisasi keuangan masih perlu dengan masif dilakukan. ia pun juga mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam memilih platform pinjaman online dan menghindari pinjol ilegal. Calon debitur harus secara detail membaca setiap klausul dari perjanjian peminjaman dan memahami setiap risiko yang akan muncul termasuk waktu jatuh tempo, denda dan bunga.