Jakarta, FORTUNE - Penerapan gaya hidup berkelanjutan (sustainable) menjadi salah satu langkah untuk melindungi bumi dan menekan dampak negatif perubahan iklim. Namun, faktanya mempraktikkan gaya hidup ini bukanlah hal mudah.
Studi global yang dilakukan oleh Garnier sebagai bagian dari laporan tahunan 1 #OneGreenStep menyatakan 83 persen responden bersedia mengadopsi kebiasaan yang lebih berkelanjutan pada 2022. Jumlah ini meningkat dibandingkan 2021 yang hanya 81 persen. Sayangnya, hanya 5 persen responden yang telah menjalankan kebiasaan dan gaya hidup berkelanjutan.
Melanie Masriel, Chief Corporate Affairs Engagement and Sustainability L'Oreal Indonesia mengatakan, memulai gaya hidup berkelanjutan bukan tanpa tanpa tantangan. "Rasa malas, sulit, kurangnya pilihan, terbatasnya informasi serta adanya anggapan bahwa gaya hidup berkelanjutan itu mahal menjadi tantangan dalam mengadopsi kebiasaan ini,” ujarnya dalam diskusi “#OneGreenStep Pilah Sampah dari Rumah" di acara Jakarta X Beauty 2022, Jumat (29/7).
Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti yang juga aktivis lingkungan menegaskan, dengan menerapkan gaya hidup turut berperan dalam pelestarian lingkungan.
“Setelah libur Idulfitri saya ke Pantai Pangandaran penuh sampah. Mulai dari pampers hingga bungkus makanan, bahkan sedotan dari satu meter persegi bisa dapat dua ribu sedotan. Tahun 2030 bisa nanti lebih banyak sampah plastik daripada ikan,” ucapnya.
“Fenomena sampah berakhir di laut ini juga harus kita akhiri, kita tenggelamkan,” katanya, menegaskan.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, baik pelaku industri maupun peran serta pemerintah. Masyarakat pun dapat berkontribusi dan fokus pada perubahan kecil yang relatif mudah diterapkan seperti berikut ini.