Kecurigaan timbul ketika banyak pembeli tahu bahwa mereka tidak mendapatkan barang dengan harga wajar. Contohnya, saat membayar US$100 untuk tas tangan dengan harga toko lebih dari US$5.000. Para ahli mengatakan kerugian yang terjadi termasuk memukul penjualan dan reputasi brand. Tentu saja itu memberikan citra negatif: keaslian barang tidak terjamin, dan timbul kecurigaan ada pemalsuan dan aktivitas kriminal terorganisasi.
Laporan Ghost Data mengungkapkan, para pemalsu memanfaatkan fitur seperti katalog produk WhatsApp yang tidak terenkripsi dan tersedia melalui opsi fitur di business profile. Fitur itu berguna untuk menunjukkan barang dagangannya.
Stroppa dari Ghost Data menyatakan, jumlah transaksi penjualan baarang palsu di platform meningkat dibanding transaksi yang terjadi di situs resmi. Menyikapi ini, beberapa label kelas atas tetap waspada dan tidak begitu saja percaya kalau platform online, e-commerce, hingga aplikasi sosial mampu memberantas perdagangan barang palsu.
Pada 2020, Chanel, Lacoste, dan Gant mundur dari inisiatif European Commission yang ingin meningkatkan kerja sama brand dengan e-commerce—seperti eBay, Alibaba dan marketplace Facebook—untuk memerangi pemalsuan. Penolakan muncul karena inisiatif itu dianggap tidak efektif.
Dalam sebuah wawancara tahun lalu, Chief of Finance Chanel Philippe Blondiaux mengatakan Chanel yang hanya menjual kosmetik dan parfum online, tidak percaya Facebook atau Instagram adalah lingkungan yang tepat untuk menjual barang-barang mewah. Dia menambahkan Chanel menginginkan untuk sangat dilindungi dan memiliki lingkungan yang akrab bagi pelanggannya.
The Organization for Economic Cooperation and Development memperkirakan perdagangan global produk palsu mencapai US$464 miliar pada 2019. Organisasi itu mengatakan ledakan e-commerce pada 2020-2021 menyebabkan pertumbuhan besar-besaran dalam pasokan barang palsu online.
Para akademisi mengatakan, penipuan telah menjamur selama pandemi Covid-19. Sementara itu, undang-undang di Amerika Serikat dan Uni Eropa tetap tidak dapat memeranginya.
Perwakilan Chanel, Gucci, dan Prada mengatakan perjuangan mereka melawan pemalsu mengakibatkan ratusan ribu unggahan media sosial dihapus tahun lalu. Namun, mereka tidak berkomentar secara khusus tentang layanan Meta. Senada, pemilik Louis Vuitton dan Fendi yakni LVMH menolak berkomentar. Namun, konglomerasi itu mengaku menghabiskan US$33 juta untuk memerangi pemalsuan pada 2020.