Penurunan sektor barang mewah ini bertepatan dengan masalah internal Burberry, terutama terkait rencana transformasi yang tersendat. Nilai merek mewah asal Inggris ini turun hingga setengahnya sepanjang 2024.
Pada bulan Juli, Burberry memecat CEO Jonathan Akeroyd setelah tiga kali memberikan peringatan laba, dan menangguhkan dividen yang membuat sahamnya anjlok.
Akeroyd mewarisi masalah yang juga dihadapi para pendahulunya, yaitu kegagalan rebranding yang bertujuan menggeser Burberry dari merek kelas menengah ke kelas atas. Pada bulan Juli, Burberry mulai memberhentikan ratusan karyawannya, sementara investor ramai-ramai menjual saham perusahaan.
Dan Coatsworth, analis investasi di AJ Bell, mengatakan pada bulan September bahwa Burberry menjadi rentan terhadap pengambilalihan karena penurunan valuasi yang signifikan.
Burberry juga terdepak dari indeks FTSE 100, kelompok saham terbesar di Inggris, pada bulan Agustus setelah berbulan-bulan mengalami penurunan nilai saham. Menurut Jelena Sokolova, analis ekuitas senior di Morningstar, penyebab utama penurunan Burberry adalah tingginya eksposur pada produk pakaian yang pertumbuhannya lambat serta rendahnya pendapatan dari produk ikonik.
"Upaya yang gagal untuk menjadi lebih trendi dengan tiga kali pergantian direktur kreatif dalam 10 tahun terakhir, serta upaya yang gagal dalam sektor barang-barang kulit yang sangat kompetitif, di mana merek Burberry tidak cukup kuat," ujar Sokolova.
Selain itu, kenaikan harga yang baru-baru ini juga bertepatan dengan melemahnya pembelian barang mewah.