JAEGER-LECOULTRE POLARIS PERPETUAL CALENDAR/Dok.JAEGER-LECOULTRE
Kalender abadi yang membutuhkan pengerjaan rumit menjadi nilai tambah bagi siapa pun yang menjadikannya sebagai koleksi. Perlu diingat bahwa arloji perpetual calendar sulit dibuat karena adanya tahun kabisat dan jumlah hari yang berbeda dalam bulan.
Ini terjadi akibat anomali antara cara kita mengukur waktu dengan fenomena langit yang menjadi dasar pengukuran tersebut. Akibatnya, bagi pembuat jam, kalender abadi adalah salah satu komplikasi yang paling menantang untuk dikuasai. Layaknya sebuah komputer mekanik mini, sistem harus secara otomatis menyesuaikan panjang yang berbeda setiap bulan, bahkan untuk tahun kabisat.
Tidak seperti jam dengan petunjuk tanggal biasa yang perlu disesuaikan pada akhir bulan (karena tidak semua bulan terdiri dari 31 hari), sistem perpetual calendar tidak memerlukan koreksi manual hingga tahun 2100.
Seperti diketahui, peradaban kuno mendefinisikan satu tahun sebagai waktu yang dibutuhkan Matahari untuk kembali ke posisi yang sama di langit, menyelesaikan satu siklus penuh musim. Tahun matahari ini berlangsung sekitar 365,2425 hari dan dipakai dalam pembuatan kalender pertama. Namun, agar genap, maka tahun kalender dihitung hanya 365 hari, alias hampir enam jam lebih pendek dari tahun matahari.
Oleh karena alasan itu, Julius Caesar memperkenalkan Kalender Julian pada 46 SM, dengan menambahkan satu hari ekstra pada bulan Februari setiap tahun keempat. Namun, ini merupakan kompensasi yang berlebihan. Kemudian pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII menghapus beberapa tahun kabisat.
Menurut Kalender Gregorian yang kita gunakan sampai hari ini, setiap tahun yang habis dibagi 4, adalah tahun kabisat; namun, jika dapat juga dibagi 100, itu bukan tahun kabisat (misalnya 1900, 2100); namun demikian, tahun keseratus yang dapat dibagi 400 adalah tahun kabisat (2000, 2400). Karena sulitnya menciptakan mekanisme kompleks seperti itu dalam skala kecil sebuah jam tangan, maka arloji perpetual calendar selalu dianggap sebagai mahakarya.