Jakarta, FORTUNE - Barang-barang mewah yang dulunya tampak kebal terhadap gejolak ekonomi, kini mungkin mulai kehilangan daya tariknya. Selama pandemi ini, pasar barang mewah tumbuh pesat karena masyarakat kelas atas—yang tidak terpengaruh oleh kenaikan harga—memanjakan diri dengan tas Birkin dan jam tangan langka. Namun, saat ini terlihat tanda-tanda perlambatan dalam booming barang mewah di era "tahun 20-an".
Ambil contoh Tiongkok, di mana lonjakan penjualan pasca-Covid pada awal tahun 2023 tidak bertahan lama. Lambatnya pemulihan ekonomi negara ini dan ketidakpastian global telah berkontribusi terhadap mundurnya belanja barang mewah.
Melansir Fortune.com, Claudia D'Arpizio dari Bain & Co., pakar terkemuka mengatakan meskipun pada awalnya memiliki ketahanan, pasar barang mewah menghadapi tantangan karena pergeseran geopolitik dan lemahnya kepercayaan konsumen.
Gejolak ini berdampak pada pemain besar seperti LVMH, konglomerat di balik Dior dan Louis Vuitton. Pertumbuhan pendapatan Q3 melambat dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini juga diikuti oleh pesaingnya seperti pemilik Gucci, Kering, dan Burberry. Penjualan setengah tahun Richemont, meskipun naik 6 persen, jauh dari ekspektasi. Di sisi lain, harga pasar sekunder untuk Rolex dan Patek Philippe terpukul.
Meskipun beberapa perusahaan lain, seperti Hermès, mampu bertahan dari penurunan dengan penjualan yang kuat di kuartal ketiga, sektor barang mewah secara keseluruhan sedang menghadapi ketidakpastian.
Menariknya, segmen khusus seperti kapal pesiar mewah, berkembang pesat dengan pertumbuhan 116 perse YoY. Akan tetapi, kompleksitas kondisi pasar barang mewah saat ini membuat kita mempertanyakan arah sebenarnya di tengah laporan yang saling bertentangan mengenai keuntungan dan kemudahan belanja. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di dunia kemewahan?
Pandemi menjadi momentum kejayaan industri barang mewah. Banyak faktor mempengaruhi, seperti meningkatnya tabungan masyarakat, stimulus pemerintah, dan skema cuti atau pola kerja turut meningkatkan daya beli konsumen. Hal ini mengurangi kebiasaan kuliner dan plesiran di tengah larangan perjalanan dan lockdown. Pada saat itulah, banyak individu beralih ke barang mewah dengan memperoleh lebih banyak sampanye dan tas desainer daripada yang mereka lakukan sebelumnya.
“Anda memiliki kelebihan tabungan atau daya beli yang sangat besar yang disebabkan oleh fakta bahwa orang-orang tinggal di rumah, terutama pekerja kantoran,” kata Javier Gonzalez Lastra, manajer portofolio yang berfokus pada barang mewah di Tema ETFs.