Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
ilustrasi barang mewah (pexels.com/Alexandra Maria)
ilustrasi barang mewah (pexels.com/Alexandra Maria)

Jakarta, FORTUNE - Industri barang mewah global kembali memasuki periode suram. Penjualan global barang mewah pribadi diperkirakan kembali menyusut untuk tahun kedua berturut-turut. Konsumen dengan daya beli tinggi mulai menolak lonjakan harga yang dianggap berlebihan untuk produk yang dinilai tidak istimewa, sementara gejolak ekonomi global ikut menggoyahkan kepercayaan pasar. Hal itu terungkap dalam studi terbaru Bain & Co. yang dirilis pada Kamis (20/11).

Dalam pembaruan pasar semesterannya untuk Altagamma, asosiasi produsen barang mewah Italia, Bain memproyeksikan penjualan busana, alas kaki, dan tas mewah turun 2 persen menjadi 358 miliar euro atau setara US$412 miliar tahun ini, dari 364 miliar euro pada 2024. Penurunan ini akan menjadi perlambatan dua tahun berturut-turut pertama sejak krisis keuangan global 2008–2009.

“Ini bukan situasi bencana, tetapi Anda dapat melihat konsumen beralih ke merek yang lebih terjangkau, bukan karena mereka tidak punya uang, melainkan karena mereka mencari proposisi nilai-harga yang lebih etis,” ujar Claudia D’Arpizio, mitra Bain sekaligus penulis studi tersebut, mengutip Associated Press Finance.

Menillik lebih jauh, oenjualan barang mewah sempat melonjak ke 369 miliar euro pada 2023, sebuah pemulihan pascapandemi yang kini dinilai sebagai “gelembung”. Meski pasar kini melambat, ukurannya masih sekitar 25 persen lebih besar dibanding tahun 2019, sebelum pandemi melumpuhkan penjualan global.

Bain memproyeksikan pemulihan moderat sebesar 3–5 persen pada 2026, mencapai 365–375 miliar euro, dengan asumsi pertumbuhan di Amerika Serikat serta perbaikan permintaan di Cina.

Sementara itu, hingga akhir tahun pasar Amerika Serikat diperkirakan stagnan pada kisaran 101 miliar euro. Eropa bahkan berpotensi menyusut menjadi 108 miliar euro. Cina daratan dan Jepang diprediksi melambat hingga 8 persen, masing-masing menjadi 42 miliar euro dan 31 miliar euro. Satu-satunya wilayah yang bertumbuh adalah Timur Tengah, yang diproyeksikan naik 4–6 persen menjadi 23 miliar euro, didorong oleh Dubai sebagai pusat belanja kelas dunia.

Dalam dua tahun terakhir, 60–70 juta pelanggan meninggalkan merek-merek mewah, membuat basis konsumen menyusut 18 persen menjadi 330 juta orang. Bain menyebut penyebabnya mulai dari harga yang melonjak hingga “krisis kreativitas” di berbagai rumah mode.

Kategori yang paling terpukul adalah sepatu dan tas tangan—yang mengalami kenaikan harga paling agresif. “Para pelanggan ini sudah punya banyak tas di lemari mereka, termasuk model yang sama dengan yang dijual sekarang,” kata D’Arpizio.

Industri barang mewah kini mengalami polarisasi ekstrem, mirip dinamika politik. Konsumen ultra-kaya tetap kuat, dengan sekitar 400.000 individu memiliki kekayaan lebih dari 30 juta euro, jumlah yang membengkak menjadi 1,5 juta orang jika dihitung bersama keluarga.

Namun, fokus merek pada segmen ultrakaya dianggap menjauhkan mayoritas konsumen. “Sebagian besar pelanggan lain merasa terasing karena merek terlalu memusatkan perhatian pada individu superkaya—baik melalui kenaikan harga maupun pengalaman pelanggan yang dirancang hanya untuk segelintir orang,” ujarnya.

Media sosial turut memperkuat kritik apakah “etis membeli barang pada harga seperti ini”. D’Arpizio menilai strategi kenaikan harga yang agresif “sangat berisiko” karena menciptakan ketidakselarasan antara harga dan nilai.

Ia menekankan bahwa merek kini harus menentukan kembali “pelanggan mana yang ingin mereka layani” dan memulihkan citra sebagai pembawa nilai “aktualisasi diri dan peningkatan sosial”, dua pilar yang selama puluhan tahun menjadi dasar pertumbuhan industri barang mewah.

Editorial Team