Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
A powder compact from 1929, Cartier Paris (ki), buku Jacques Cartier (ka)/Dok. Cartier

Jakarta, FORTUNE - Pada awal abad ke-20, Jacques Cartier menghabiskan empat bulan melakukan perjalanan melintasi Asia—warisannya kini dituangkan dalam jejak karyanya: sebuah buku baru, Cartier: Islamic Inspiration and Modern Design, yang diterbitkan setelah pameran di Abu Dhabi, Dallas, dan Paris.

Ayahnya, Alfred, yang saat itu menjabat sebagai kepala Cartier mendorongnya bereksplorasi ke Asia. Langkahnya membawa pada kunjungan pertama ke Teluk Persia pada tahun 1911, dalam perjalanan kembali ke London dari Delhi. Runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah dan Revolusi Konstitusi Persia pada tahun 1905 telah membanjiri pusat-pusat seni Eropa dengan pengaruh-pengaruh baru, membentuk suatu estetika yang kemudian dikenal sebagai “seni Muslim”.

Karena ingin belajar lebih banyak, Jacques menghabiskan empat bulan berkeliling Asia dan Timur Tengah , menjelajahi pasar dan emporium serta bergaul dengan masyarakat kelas atas. Lebih dari satu abad kemudian, warisan tur Jacques—dan kekagumannya terhadap desain Islam dan India dalam buku tersebut. 

Merangkum Condé Nast Traveler, buku karyanya sekaligus merayakan perpaduan keahlian tradisional Prancis dan seni Islam yang rumit, yang menggambarkan hasil perjalanan melintasi India, Bahrain, Mesir, Oman, dan tempat yang kini disebut Dubai—yang secara radikal mengubah arah perhiasan Cartier.

Akar pola geometris dalam perhiasan Cartier

Editorial Team

Tonton lebih seru di