MARKET

Pasar Karbon Indonesia Sangat Bergantung pada BEI

Mewujudkan perdagangan karbon kredibel yang diakui dunia.

Pasar Karbon Indonesia Sangat Bergantung pada BEIMenteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara CEO Networking 2021, Selasa (16/11). (Dok.Kemenkeu)
17 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan isu perubahan iklim akan menjadi pembicaraan utama dalam forum-forum dunia. Pembahasannya di tingkat global pun akan berpengaruh pada sumber-sumber pendanaan untuk ekonomi hijau. 

“Hal ini akan sangat bergantung kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) dan yang akan menjadi platform untuk perdagangan, yang saya harap akan membangun dan mengantisipasi, sehingga perdagangan karbon menjadi kredibel dan diakui, tidak hanya Indonesia, tapi juga diakui oleh dunia,” kata Menteri Sri pada CEO Networking 2021 (16/11).

Menurutnya, harga karbon di tiap negara berbeda-beda, hal yang kelak memunculkan arbitrase. Untuk itu, BEI diharapkan dapat mengantisipasinya. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan prinsip Enviromental-Social-Governance (ESG) dan Monitoring, Reporting, Valuation (MRV) dalam perdagangan karbon.

“Jadi, tinggal dilihat ini merugikan atau menguntungkan. Jangan sampai justru Indonesia tidak bisa menjaga kepentingannya pada saat harga karbon tidak sama dan menimbulkan dampak arbitrase,” ujar Menkeu.

Instrumen perdagangan dan non-perdagangan pada pengembangan pasar karbon

Selain instrumen perdagangan, pengembangan pasar karbon di Indonesia juga akan dilengkapi instrumen non-perdagangan. Untuk perdagangan, menurut Sri Mulyani, terdapat instrumen trading dan mekanisme offsetting. Sedangkan untuk instrumen non-perdagangan, Indonesia akan menerapkan pajak karbon dan pendanaan kinerja melalui result base payment atau pembayaran untuk pihak yang melakukan pengurangan CO2.

“Kita memiliki Badan Layanan Umum (BLU), Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang mengelola dana untuk bisa mendukung perdagangan maupun non-perdagangan dalam instrumen pengembangan harga karbon, yang akan menjadi fokus dan melihat semua negara,” ujarnya.

Hasil pajak karbon berpotensi dukung pengembangan EBT

Berkaitan dengan penerapan pajak karbon oleh pemerintah Indonesia, Anggota Komisi VII DPR RI, Diah Nurwitasari, mengatakan sebagian besar pendapatan dari pajak karbon harus diinvestasikan kembali untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT). 

Melansir pemberitaan Antara (17/11), Kementerian ESDM menyatakan dengan pengenaan pajak karbon US$1 per ton, pendapatan negara akan bertambah Rp76,49 miliar. Jumlah ini kelak berdampak pada penambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik sebesar Rp76,49 miliar, dan berdampak penambahan subsidi listrik sebesar Rp20,46 miliar dengan kompensasi sebesar Rp61,38 miliar.

Rencananya, tarif pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram CO2e akan dikenakan kepada Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU) bertenaga batu bara mulai 1 April 2022. Pungutan ini belum diterapkan pada banyak sektor yang menghasilkan karbon dan baru akan dipungut apabila jumlah emisi yang dihasilkan melebihi batas emisi yang sudah ditetapkan.

Related Topics