Melansir Investopedia, emas merupakan aset yang mendulang cuan saat terjadi krisis atau inflasi tinggi. Misalnya, selama pandemi Covid-19 dan ketegangan geopolitik global, harga emas pernah mencetak rekor tertinggi hingga mencapai USD 2.790 per ounce pada 2024.
Namun, di luar kondisi ekstrem tersebut, harga emas cenderung naik perlahan dan stabil dalam jangka panjang. Secara umum, investasi emas baru mulai menunjukkan keuntungan setelah disimpan minimal 3 tahun. Nilainya akan lebih optimal jika emas disimpan selama 5 hingga 10 tahun.
Dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, pergerakan harga belum cukup signifikan untuk menutupi biaya spread atau fluktuasi pasar jangka pendek. Lantas, mengapa harus menunggu lama?
Harga emas bergerak lambat
Tidak seperti saham atau kripto yang bisa melonjak dalam hitungan hari, emas naik rata-rata 8–10% per tahun. Kenaikan ini cenderung stabil, tapi tidak cepat.
Ada biaya tambahan
Emas fisik memiliki biaya cetak, penyimpanan, dan administrasi. Jika membeli melalui aplikasi digital, biasanya biaya lebih ringan tapi tetap ada selisih harga beli dan jual.
Terpengaruh nilai tukar dan inflasi
Harga emas di Indonesia dipengaruhi oleh kurs rupiah terhadap dolar AS. Apabila rupiah menguat tajam, harga emas lokal bisa stagnan meski harga dunia naik.
Dengan kata lain, menjadikan emas sebagai aset cuan cepat bukanlah langkah yang tepat. Tetapi, sebagai instrumen investasi jangka panjang, emas sangat menjanjikan untuk mempertahankan daya beli.