ilustrasi bahan baku dari supplier (pexels.com/Mike B)
Berdasarkan cakupan Mirae, PT Indotambangraya Megah Tbk (ITMG) memiliki eksposur tertinggi ke pasar cina, yakni 31 persen. Setelahnya ada PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dengan nilai eksposur masing-masing 11 persen dan 4 persen.
ITMG bersaing langsung dengan produk batu bara termal Australia. Kendati demikian, ia tetap optimistis pencabutan larangan tak akan berdampak besar terhadap kinerja perusahaan. Itu bukan tanpa landasan. Sebab, harga batu bara termal Australia mahal sehingga tak sekompetitif harga batu bara domestik Negeri Tirai Bambu.
Lalu, Juan menambahkan, “Ada potensi pasokan yang lebih rendah dari Australia dibanding tahun-tahun sebelumnya. Karena Australia sudah menjajaki pasar alternatif selama 2 tahun terakhir.”
Sementara untuk ADRO, Juan tak melihat batu bara asal Australia sebagai ancaman langsung. Sebab, ada perbedaan kalori atau low caloric value (LCV) batu bara miliknya dan produksi Negeri Kangguru.
Dus, Mirae masih merekomendasikan ‘Netral’ untuk sektor batu bara. ADRO menjadi pilihan sekuritas itu berkat sejumlah katalis, yakni: diversifikasi ke bisnis di luar batu bara dan posisi kuat di pasar domestik sehingga diuntungkan saat implementasi skema BLU.
Pada Jumat ini, saham PTBA ditutup stagnan di harga Rp3.330. Sementara ADRO dan ITMG masing-masing menguat 1,62 persen dan 1,22 persen.
Adapun, keputusan pencabutan larangan impor batu bara oleh Cina dari Australia berawal dari KTT G-20 pada November 2022. Setelah para pemimpin mereka bertemu, Menteri Luar Negeri Australia pun mengunjunig Cina pada Desember 2022. Sebelum ada boikot, Australia berkontribusi sekitar 18 persen terhadap total ekspor batu bara termal cina, pasar terbesar keduanya pada 2020.