Jakarta, FORTUNE - Pelemahan daya beli masyarakat turut berimbas terhadap konsumsi semen domestik. Kinerja dua emiten semen, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) pun ikut terdampak.
Menurut Asosiasi Semen Indonesia (ASI), pasar semen domestik mengalami penurunan sebesar 3,1 persen pada paruh pertama tahun 2025. Penurunan ini terutama disebabkan oleh kontraksi 10,2 persen di pasar semen curah, akibat penurunan permintaan dari proyek Ibu Kota Negara (IKN) baru Nusantara dan pemangkasan anggaran infrastruktur yang diumumkan awal tahun ini. Sementara itu, pasar semen kantong tetap stagnan karena daya beli masyarakat yang masih lemah.
Semen Indonesia (SMGR) membukukan kinerja kuartal yang lemah sepanjang semester I 2025. Secara kumulatif, pendapatan perseroan turun 4,9 persen secara tahunan (YoY) menjadi Rp15,61 triliun, Sedangkan EBITDA turun 24,1 persen (YoY) menjadi Rp2,2 triliun.
Di sisi lain, laba bersih yang dapat diatribusikan ke pemegang saham SMGR anjlok tajam 92 persen menjadi Rp40 miliar. Angka ini jauh di bawah kisaran historis pertengahan tahun yang biasanya 22–70 persen.
Manajemen mengatakan, berupaya mengatasi penurunan pangsa pasar dan melemahnya profitabilitas. Untuk target jangka pendek, manajemen berencana mempertahankan pangsa pasar domestik setara dengan 2024 serta meningkatkan EBITDA absolut dari bisnis non-semen pada 2025.
Prioritas eksekusi mencakup meningkatkan visibilitas dan ketersediaan produk di pasar, mengoptimalkan produk turunan semen, memperbesar skala bisnis non-semen, meningkatkan efisiensi energi dan biaya tetap, serta mengintegrasikan logistik antar-pabrik.
Sejalan dengan realisasi kinerja ini, Mirae Asset Sekuritas menurunkan perkiraan dengan laba bersih lebih lemah dari perkiraan di tengah situasi makro yang menantang.
“Proyeksi pendapatan dan EBITDA untuk full year 2025–2026 kami pangkas 3–4 persen dan 4–9 persen, mencerminkan asumsi pertumbuhan harga jual rata-rata (ASP) yang lebih rendah dan porsi ekspor yang lebih tinggi,” kata Andreas Saragih, Analis Mirae Asset Sekuritas dalam risetnya dikutip Jumat (15/8).
Laba bersih diturunkan lebih signifikan karena mempertimbangkan tarif pajak efektif yang lebih tinggi dan faktor non-operasional yang kurang menguntungkan.
Dengan metode penilaian tetap menggunakan valuasi EV/EBITDA dengan target kelipatan 2 standar deviasi di bawah rata-rata lima tahun, Mirae menurunkan rekomendasi dari Trading Buy menjadi HOLD, dengan target harga (TP) baru Rp2.600, dari sebelumnya Rp2.800.
“Risiko positif terhadap rekomendasi ini antara lain pemulihan permintaan yang lebih kuat dari perkiraan, pertumbuhan ASP lebih tinggi dari proyeksi, serta kontribusi yang lebih rendah dari semen curah dan merek pesaing,” katanya.