MARKET

Garuda Indonesia Rugi Rp35,5 Triliun Sepanjang 2020

Kerugian disebabkan rendahnya mobilitas selama pandemi.

Garuda Indonesia Rugi Rp35,5 Triliun Sepanjang 2020Dok. Internal Kementerian BUMN
10 August 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) membukukan kerugian sebesar US$2,44 miliar atau setara dengan Rp35,5 triliun (kurs Rp14.498 per dolar AS) sepanjang 2020. Kerugian yang dialami maskapai BUMN tersebut membengkak dibandingkan US$44,5 juta pada tahun sebelumnya. 

Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2020, perseroan mencatatkan pendapatan sebesar US$1,49 miliar atau sekitar Rp21,68 triliun. Nilai itu turun 67,36 persen dari pendapatan 2019 sejumlah US$4,57 miliar atau Rp69,16 triliun.

Penerbangan berjadwal yang menjadi kontributor utama pendapatan Garuda merosot menjadi US$1,2 miliar. Padahal tahun sebelumnya perseroan masih bisa mengantongi pendapatan sebesar US$3,77 miliar. 

Begitu pula dengan penerbangan tidak berjadwal dan pendapatan usaha lainnya yang turun masing-masing menjadi US$77,24 juta dan US$214,4 juta. Tahun sebelumnya, pendapatan dari penerbangan tak berjadwal mencapai US$249,9 juta, sementara pendapatan usaha lainnya sebesar US$549,3 juta.

Di tengah penurunan pendapatan tersebut, Garuda harus menanggung beban usaha yang jumlahnya mencapai US$3,3 miliar atau Rp47,9 triliun sepanjang 2020. Operasional penerbangan mengambil porsi paling besar yakni US$1,65 miliar disusul beban pemeliharaan dan perbaikan sejumlah US$800,5 juta, serta beban umum dan administrasi sebesar US$350,25 juta. 

Selain itu, masih ada beban lainnya seperti beban bandara, pelayanan penumpang, operasional jaringan, operasional hotel, dan lain-lain yang jumlahnya mencapai sekitar US$370 juta.

Sementara itu, liabilitas Garuda tahun lalu mencapai US$12,73 miliar, dengan perincian liabilitas jangka panjang US$8,44 miliar dan jangka pendek US$4,29 miliar. Jumlah tersebut naik dari 2019 yang tercatat US$3,87 miliar.

Ekuitas perseroan pun negatif atau mengalami defisiensi modal hingga US$1,94 miliar pada akhir 2020. Kondisi itu berbalik dari tahun sebelumnya yang masih positif US$582,58 juta.

Dalam laporan keuangan tersebut, manajemen mengatakan pandemi Covid-19 yang diikuti dengan pembatasan perjalanan telah menyebabkan penurunan perjalanan udara yang signifikan dan berdampak buruk pada operasi dan likuiditas perusahaan.

Sebagai bagian dari usaha berkesinambungan untuk menghadapi dan mengelola kondisi di atas, Garuda Indonesia Grup mengambil langkah-langkah yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan mulai dari optimalisasi pendapatan penumpang berjadwal, meningkatkan pendapatan kargo, hingga menutup rute yang tidak menghasilkan profit.

Upaya lainnya adalah mencari alternatif pendanaan terkait utang dan pinjaman yang akan jatuh tempo, menyelaraskan rute, dan menetapkan jadwal penerbangan yang sesuai dengan permintaan pasar, hingga bernegosiasi dengan lessor terkait penurunan biaya sewa pesawat, penundaan kedatangan pesawat baru, maupun opsi early redelivery pesawat.

Perseroan juga melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi potensi dampak buruk pada kinerja keuangan dan mempertahankan keberlangsungan usaha Grup, antara lain dengan mendapatkan fasilitas pinjaman modal kerja ekspor senilai Rp1 triliun dari LPEI dalam rangka program Penugasan Khusus Ekspor hingga perpanjangan jatuh tempo surat utang syariah Sukuk selama 3 tahun hingga 2023.

Namun demikian, efektivitas rencana manajemen dalam memperbaiki kondisi keuangan Grup akan tergantung pada persetujuan relaksasi pembayaran utang, kemampuan Grup melakukan rasionalisasi positif  jumlah dan biaya karyawan sesuai dengan rencana jangka panjang Grup, hingga dukungan finansial pemegang saham kepada Grup.

Related Topics