Jakarta, FORTUNE - Emiten pertambangan, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) membukukan penurunan kinerja keuangan sepanjang 2023. Penurunan itu sebagian besar disebabkan oleh pelemahan harga batu bara dan kenaikan sejumlah komponen beban, termasuk di antaranya kenaikan biaya royalti batu bara.
Dikutip dari laporan keuangan perusahaan, hingga 31 Desember 2023, ADRO mencatat pendapatan sebesar US$6,51 miliar atau Rp102,30 triliun (asumsi kurs Rp15.696 per dolar AS). Angka ini turun 20 persen dibandingkan periode tahun sebelumnya US$8,10 miliar.
Kendati demikian, produksi dan penjualan perseroan naik secara tahunan masing-masing naik 5 dan 7 persen atau sebesar 65,88 juta ton dan 65,71 juta ton, melampaui target perseroan sebesar 62-64 juta ton. Peningkatan kinerja operasional ini pun diofset dengan penurunan rata-rata harga jual (ASP) sebesar 26 persen seiring harga batu bara kembali normal.
Di sisi lain, beban pokok ADRO penjualan naik 15 persen secara tahunan menjadi US$3.980 juta, terutama disebabkan oleh kenaikan biaya royalti kepada pemerintah yang dibayarkan PT Adaro Indonesia (AI) dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Diketahui, royalti kepada pemerintah naik 19 persen menjadi US$1,466 miliar, dari US$1,23 miliar, sedangkan beban pajak penghasilan turun 73 persen menjadi US$439 juta dari US$$1.645 juta. Setelah mendapatkan IUPKKOP pada September 2022, maka mulai 1 Januari 2023 perseroan menerapkan ketentuan perpajakan dan penghasilan negara bukan pajak (PNBP) sesuai aturan yang berlaku. IUPK-KOP telah meningkatkan tarif royalti ADRO ke rentang 14 sampai 28 persen dari tarif sebelumnya 13,5 persen.
Biaya penambangan dan biaya pemrosesan juga naik, akibat kenaikan volume. ADRO mencatat kenaikan 22% pada pengupasan lapisan penutup menjadi 286,35 juta bcm, dan nisbah kupas 4,35x, atau 16 persen lebih tinggi dibandingkan 2022 maupun target, namun masih sesuai dengan nisbah kupas umur tambang perusahaan.
Kenaikan beban ini, membuat laba kotor perseroan tergerus 45 persen menjadi US$2,53 miliar atau sekitar Rp39,80 triliun. EBITDA operasional perseroan juga turun 49 persen secara tahunan menjadi US$2,55 miliar dan penurunan laba inti 38 persen menjadi US$1,87 miliar pada 2023, sejalan dengan penurunan ASP dan kenaikan biaya.
Margin EBITDA operasional ADRO juga tertekan di level 39 persen dari sebelumnya 62 persen serta laba bersih US$1,66 miliar atau sekitar Rp26,09 triliun, turun 34 persen dibadningkan tahun sebelumnya sebesar US$2,49 miliar.
Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Adaro Energy Indonesia, Garibaldi Thohir mengatakan optimistis dengan pencapaian yang melampaui target tahun 2023, dengan skala volume produksi dan efisiensi operasional.
"Investasi pada bisnis-bisnis non batu bara termal juga memperlihatkan perkembangan yang baik, "katanya dalam keterangan dikutip Jumat (1/3).