Jakarta, FORTUNE – Bitcoin tampaknya belum menunjukkan kinerja yang gemilang sebagai emas digital—istilah yang mengacu pada aset tersebut diharapkan sanggup menjadi safe haven dengan mempertahankan nilainya saat terjadi krisis atau gejolak ekonomi.
Ketika pemerintah Rusia resmi mengumumkan invasi ke wilayah Ukraina, Kamis (24/2), harga Bitcoin merosot. Mengutip data dari coinmarketcap.com, nilai Bitcoin sempat berada di titik terendah dalam satu bulan terakhir yakni di bawah Rp500 juta.
Harga Bitcoin ditutup persisnya ke posisi Rp552,81 juta, atau menurun 5,0 persen dalam sepekan terakhir dari Rp582,02 juta. Pada kurun waktu sama, Bitcoin kehilangan kapitalisasi pasar mencapai Rp540,76 triliun.
Sebaliknya, di saat sama, harga emas perlahan tapi pasti merangkak naik. Bahkan, pada hari sama, harga aset safe haven tersebut menembus posisi US$1.900an per troy ounce, hampir menyamai level tertinggi pada Juni 2021.
“Bitcoin telah menunjukkan dirinya lebih baik dalam melindungi dari ekspektasi inflasi dan kurang cocok untuk melindungi dari risiko geopolitik—sesuatu yang telah terbukti, sekali lagi, lebih cocok untuk emas selama krisis ini,” kata Gavin Smith, CEO Panxora.io, perusahaan pengelola aset digital, seperti dikutip dari laman CoinDesk, Jumat (25/2).
Kepada Bloomberg, Philip Gardwel, kepala ekonom di perusahaan riset blockchain Chainalayisis, menambahkan orang-orang berpikir bahwa Bitcoin itu langka. Dengan begitu, aset tersebut dapat menjadi lindung nilai (hedge) dari inflasi, seperti emas.
“Tapi itu jelas tidak,” katanya. ‘Kami telah belajar bahwa narasi emas digital hampir terlalu berat di “emas” dan tidak cukup berat di sisi “digital”.