Jakarta, FORTUNE - Sejumlah ekonom memprediksi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa bakal menangguhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia di tengah meroketnya harga minyak dan gas. Terlebih, sejumlah sanksi ekonomi yang telah dijalankan tak menghentikan langkah Vladimir Putin untuk terus mengerahkan tentara ke Ukraina.
Jeffrey Halley, analis pasar senior di Oanda mengatakan tak ada waktu untuk menjatuhkan sanksi lebih lanjut kepada negeri Beruang Merah. Terutama, untuk menghentikan pembelian komoditas energi dari Rusia. “[Tapi] itu tergantung pada tingkat rasa sakit yang ingin ditanggung oleh negara-negara yang membentuk aliansi melawan Rusia," ujarnya seperti dikutip Fortune.com.
Sementara itu, para pelaku pasar telah bertaruh pada krisis lebih buruk di masa mendatang. Pada Senin (7/3), data bursa berjangka energi London menunjukkan para pedagang telah memilih opsi bertaruh pada lonjakan harga minyak hingga US$200 per barel di akhir Maret.
Demikian pula analis J.P. Morgan yang memprediksi harga minyak akan melonjak menjadi US$185 per barel usai invasi Rusia ke Ukraina.
Meski demikian, ketika langkah untuk memblokir ekspor energi Rusia dilakukan, AS dan Uni Eropa akan menghadapi pukulan yang lebih keras.
Di Uni Eropa, yang membeli 60 persen ekspor minyak Rusia dan bergantung pada Rusia untuk 45 persen pasokan gasnya, blokade dapat membuat warga mereka hidup tanpa pemanas selama musim dingin ekstrem. Ini karena negara-negara anggotanya sampai sekarang masih berjuang untuk mendapatkan alternatif sumber energi.
Adam Pankratz, seorang profesor di Sekolah Bisnis Sauder Universitas British Columbia, mengatakan kepada Fortune pekan lalu bahwa skenario terburuk bagi Uni Eropa “adalah bahwa orang-orang mulai sekarat karena mereka tidak dapat memanaskan rumah mereka.”
Sedangkan di AS, pukulan yang mereka rasakan akibat "sanksi minyak" terhadap Rusia akan terbatas pada biaya yang lebih tinggi bagi konsumen. Pemerintah dapat dengan mudah mengimbangi dampak pemblokiran minyak Rusia—yang menyediakan sekitar 600.000 barel per hari ke pasar domestik—dengan meningkatkan produksi minyak serpih domestik.
Kendati demikian, meningkatkan produksi minyak dalam negeri akan berarti memundurkan sementara target menurunkan emisi Presiden Joe Biden, yang dapat mengecewakan pemilih Demokrat. Tapi, jika alternatifnya adalah harga minyak US$200 per barel dan kenaikan BBM jauh di atas US$7 di pom bensin, para pemilih mungkin akan membiarkan target lingkungan tidak diperhitungkan.
“Saya pikir semakin tinggi harga bensin, semakin besar kecenderungan penduduk AS untuk menerima bahwa Anda tidak dapat memberikan sanksi kepada minyak Rusia dan menjaga produksi dalam negeri tetap menurun,” kata Halley.