Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Kilang Minyak
ilustrasi kilang minyak (unsplash.com/Robin Sommer)

Intinya sih...

  • Harga minyak naik setelah Israel menyerang pimpinan Hamas di Qatar dan Presiden AS meminta Eropa memberlakukan tarif pada pembeli minyak Rusia.

  • Kontrak berjangka Brent naik 35 sen menjadi US$66,74 per barel, sementara kontrak berjangka WTI AS naik 36 sen menjadi US$62,99 per barel.

  • Trump mendesak Uni Eropa untuk mengenakan tarif 100 persen kepada Tiongkok dan India sebagai strategi menekan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE– Harga minyak bergerak naik pada Rabu (10/9) setelah Israel menyerang pimpinan Hamas di Qatar dan Presiden AS Donald Trump meminta Eropa memberlakukan tarif pada pembeli minyak Rusia. Namun, prospek pasar yang masih lemah mampu menahan harga minyak melaju level lebih tinggi.

Dilansir dari Reuters, kontrak berjangka Brent naik 35 sen, atau 0,53 persen menjadi US$66,74 per barel pada pukul 00.33 GMT, sementara kontrak berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 36 sen, atau 0,57 persen menjadi US$62,99 per barel.

Pada sesi sebelumnya, harga sempat ditutup naik 0,6 persen setelah Israel mengklaim menyerang pimpinan Hamas di Doha. Perdana Menteri Qatar mengatakan serangan tersebut berisiko menggagalkan perundingan damai antara Hamas–Israel.

Meski demikian, kenaikan harga minyak relatif terbatas, tertekan pelemahan permintaan. Kedua tolok ukur sempat melonjak hampir 2 persen tak lama setelah serangan, namun kemudian turun kembali setelah AS memastikan Doha bahwa hal serupa tidak akan terjadi lagi di wilayahnya.

“Reaksi yang relatif kecil pada harga minyak mentah terhadap kabar ini, ditambah dengan skeptisisme terhadap klaim Trump mengenai kemungkinan pengetatan sanksi terhadap minyak Rusia, membuat harga minyak tetap rentan turun,” tulis analis pasar IG, Tony Sycamore, dalam sebuah catatan.

Menurut sumber, Trump mendesak Uni Eropa untuk mengenakan tarif 100 persen kepada Tiongkok dan India sebagai strategi menekan Presiden Rusia Vladimir Putin. Tiongkok dan India merupakan pembeli utama minyak Rusia, yang terus mengisi kas negara itu sejak invasi ke Ukraina pada 2022— kendati ada tekanan sanksi berat dari AS.

“Perluasan tarif sekunder kepada pembeli besar lain seperti Tiongkok berpotensi mengganggu ekspor minyak Rusia dan memperketat pasokan global, yang menjadi sinyal positif bagi harga minyak,” tulis analis LSEG.

Namun, harga minyak masih dibayangi ketidakpastian, terutama terkait sejauh mana pemerintahan AS merespons. Tindakan agresif bisa berbenturan dengan upaya mengendalikan inflasi serta memengaruhi keputusan Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga.

Para pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga pada pertemuan minggu depan, yang berpotensi meningkatkan aktivitas ekonomi dan permintaan minyak.

Meski begitu, fundamental pasar masih lemah. Badan Informasi Energi AS (EIA) memperingatkan harga minyak mentah global akan berada di bawah tekanan signifikan dalam beberapa bulan ke depan seiring peningkatan persediaan imbas kebijakan OPEC+ menaikkan produksi.

Editorial Team

EditorEkarina .