Jakarta, FORTUNE - Emiten otomotif berpeluang menjalankan dua model bisnis dengan mulai bertumbuhnya industri kendaraan listrik (electric vehicle), meliputi recurring dan non-recurring. Analis menilai, model itu menguntungkan.
Investment Analyst Stockbit, Michael Owen Kohana mengatakan, di luar negeri, perusahaan kendaraan listrik yang menjalani dua model bisnis itu di industri EV telah mencatatkan operating profit margin positif. Sebut saja produsen motor listrik Niu (6,8 persen) dan Yadea (4,6 persen), sedangkan produsen mobilnya: Tesla (12,1 persen) dan BYD (1,9 persen).
Dengan penetrasi kendaraan listrik yang masih minim–mobil 0,96 persen dan motor 0,59 persen–potensi pertumbuhan industri EV di Indonesia masih tinggi. Emiten-emiten otomotif yang memasuki bisnis EV, seperti TOBA, GOTO, INDY, SLIS, NFCX, WIKA, ASII, dan IMAS berpeluang mendulang sumber pendapatan baru dari potensi pertumbuhan itu.
“Untuk menangkap peluang ini, pemerintah Indonesia telah memberi berbagai insentif bagi konsumen dan produsen kendaraan listrik. Di skala global, itu terbukti bisa mendorong adopsi kendaraan listrik di Cina, Amerika Serikat, dan Uni Eropa,” jelas Michael dalam keterangan resmi, Jumat (17/3).
Melansir riset Unboxing Sektor Electric Vehicle dari Stockbit Academy (2023), Cina menggelontorkan insentif sebesar 11.000–12.000 yuan untuk pembelian EV. Uni Eropa memberi insentif berupa pembebasan pajak pembelian atau impor, sedangkan AS menyediakan insentif kredit pajak senilai US$2.500–US$7.000.
Di Indonesia sendiri, insentif kendaraan listrik berbentuk subsidi Rp7 juta per unit untuk pembelian motor listrik dan konversi motor berbahan bakar bensin. Saat ini, penerimanya adalah Wuling dan Hyundai untuk mobil, sedangkan untuk motor adalah Gesits, Selis, dan Volta. Pada 2023, kuotanya meliputi:
- Motor listrik: 200.000 unit
- Konversi motor: 50.000 unit.
- Mobil listrik: 39.500 unit.
- Bus listrik: 138 unit.