Jakarta, FORTUNE - Katadata ESG Index (KESGI) 2025 resmi diluncurkan sebagai respons atas meningkatnya tuntutan investor global yang menjadikan prinsip environment, social, and governance (ESG) sebagai acuan utama keputusan investasi. Peluncuran indeks ini menegaskan penerapan ESG bukan lagi sekadar tren, melainkan faktor penting yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dalam jangka panjang.
Signifikansi ESG dalam mendatangkan keuntungan finansial ditegaskan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI, Ignatius Denny Wicaksono, menyatakan portofolio berbasis ESG secara historis lebih unggul.
“Indeks ESG yang menggunakan faktor ESG dalam pertimbangan keputusan investasi memberikan return yang lebih tinggi untuk jangka panjang, dibandingkan indeks non-ESG,” kata Denny dalam acara Katadata SAFE 2025 di Jakarta, Rabu (10/9).
Pandangan ini didukung oleh pelaku industri. Director of Legal, External Affairs, and Circular Economy Chandra Asri Pacific, Edi Rivai, mengungkapkan bahwa investor dan pelanggan mancanegara kini menuntut transparansi praktik ESG untuk memastikan keamanan investasi mereka.
“Pelanggan kami banyak dari luar negeri. Mereka ingin memastikan bagaimana investasinya secure, salah satunya dari ESG,” ujarnya.
Di tengah tuntutan tersebut, KESGI hadir sebagai satu-satunya indeks ESG di Indonesia yang bersifat terbuka dan dapat diakses publik. Presiden Direktur Institute for Sustainability and Agility (ISA) sekaligus Panel Ahli KESGI, Maria R. Nindita Radyati, menjelaskan bahwa keterbukaan ini memungkinkan perusahaan melakukan tolok ukur (benchmarking) dan memotivasi perbaikan internal.
Maria menambahkan, penerapan ketiga pilar ESG secara simultan memiliki korelasi positif dengan nilai perusahaan.
“Ada riset terakhir. Kalau dijalankan satu per satu tidak terlalu berkorelasi. Tapi kalau tiga-tiganya (E, S, dan G) sekaligus, itu berkorelasi dengan nilai perusahaan,” katanya.
Meskipun demikian, Maria mengakui adopsi ESG di tingkat korporasi masih menghadapi sejumlah kendala internal, mulai dari komitmen kepemimpinan, keterbatasan sumber daya, hingga ketersediaan data. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya proses verifikasi untuk menghindari klaim berlebih (overclaim).
“Perlu melakukan assurance, jadi tidak overclaim,” ujarnya.