Jakarta, FORTUNE - Kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat akibat kelangkaan minyak goreng diperkirakan mencapai Rp3,38 triliun. Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) dalam riset kebijakannya baru-baru ini, mengatakan taksiran tersebut berasal dari selisih harga rata-rata minyak goreng pada periode April 2021 hingga Januari 2022 dibandingkan periode sebelumnya.
Jika diperinci, akumulasi kerugian berasal dari dua periode, yakni pada April hingga September 2021 sebesar Rp980 miliar dan Oktober 2021 higga Januari 2022 sebesar Rp2,4 triliun. Adapun acuan harga normal yang digunakan adalah periode Januari hingga Maret 2021.
“Jika selama periode kelangkaan minyak goreng setelah 19 Januari 2022 [setelah penetapan harga Rp14.000 per liter] masyarakat mempertahankan konsumsi minyak goreng dengan membeli pada harga yang lebih tinggi, maka kerugian masyarakat akan makin besar,” tulis Ideas dalam risetnya, dikutip Senin (14/3).
Dalam kajian tersbeut, Ideas juga menggunakan acuan rata-rata konsumsi minyak goreng nasional yang diperkirakan mencapai 3,3 miliar liter pada 2021. Kemudian, konsumsi per kapita per tahun ditaksir mencapai 12,3 liter, dan pengeluaran masyarakat untuk membeli minyak goreng per tahunnya diperkirakan mencapai Rp43 triliun atau Rp156.000 per kapita per tahun.
Berdasarkan data tersebut, Ideas mencatat bahwa kelas menengah merupakan kelompok yang mendominasi konsumsi minyak goreng nasional dan paling terdampak kenaikan harga. Kelompok dengan pengeluaran per kapita per bulan di kisaran Rp1 juta sampai Rp3 juta, yang merupakan 40,7 persen populasi Indonesia, menyumbang sampai 46,4 persen konsumsi minyak goreng nasional atau sekitar 4,23 juta liter per hari--setara dengan 1,52 miliar liter per tahun. Kelompok ini mengalami kerugian sekitar Rp1,57 triliun.
Sedangkan kelompok berpengeluaran Rp400.000 per kapita/bulan sampai Rp1 juta per kapita/bulan menjadi penyumbang konsumsi terbesar dengan persentase 42,2 persen dari total konsumsi. Dengan konsumsi mencapai 1,39 miliar liter per tahun, potensi kerugian kelompok ini menyentuh Rp1,43 triliun.