Krisis Properti Cina, Bagaimana Dampaknya Ke Ekonomi Indonesia

Jakarta, FORTUNE - Krisis keuangan yang dialami salah satu perusahaan properti terbesar di Cina, Evergrande, menyita perhatian publik, terutama kalangan pelaku pasar. Dalam beberapa hari terakhir, berkembang kekhawatiran bahwa masalah tersebut dapat merembet ke perekonomian Cina dan pada gilirannya berimbas ke ekonomi global termasuk Indonesia.
China Evergrande Group merupakan perusahaan properti terbesar kedua di Negeri Tirai Bambu dan telah berdiri sejak 1996. Perusahaan ini memiliki bisnis utama pembangunan properti real estate. Selain properti, Evergrande juga memiliki portofolio bisnis di bidang lain, seperti kendaraan listrik, air minum kemasan, dan pariwisata.
Mengutip Fortune, Evergrande selama bertahun-tahun membangun bisnis real estate dengan bersandar pada utang. Hingga Selasa (14/9), perusahaan mengumumkan tidak dapat menjual properti serta asetnya untuk membayar pinjaman jatuh tempo mencapai US$300 miliar atau sekitar Rp4.350 triliun.
Evergrande bahkan menyampaikan arus kasnya juga dalam tekanan. Selain itu, perusahaan ini mengonfirmasi bahwa dua anak perusahaannya juga telah mengalami gagal bayar produk wealth management sekitar US$145 juta atau setara Rp2,10 triliun.
Di tengah kabar tersebut, pada Senin (20/9) harga saham Evergrande pun turun 10,2 persen. Bahkan sejak awal tahun, kapitalisasi pasar perusahaan ini turun dari US$24 miliar menjadi US$5 miliar.
Risiko Sistemik di Cina
Potensi bangkrut Evergrande membuat banyak pihak khawatir akan dampak sistemiknya bagi perekonomian Cina. Pasalnya, 70 sampai 80 persen kekayaan rumah tangga di negeri tersebut bertaut dengan pasar properti.
Para pelaku pasar pun cemas bahwa kisah Evergrande dapat menjadi versi lain kasus Lehman Brothers, perusahaan sekuritas Asal Amerika Serikat yang bangkrut dan diyakini memicu krisis ekonomi pada 2008.
Pemerintah Cina dikabarkan tengah mengumpulkan sejumlah ahli keuangan dan hukum demi membantu penyelesaian krisis Evergrande. Otoritas di negara tersebut tengah mendorong upaya restrukturisasi dan belum berencana mengajukan bailout kepada Evergrande.