Jakarta, FORTUNE– Perusahaan konglomerasi, PT Astra International Tbk mencatat penurunan laba bersih sebesar 7 persen sepanjang kuartal I 2025 menjadi Rp6,9 triliun, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini mencerminkan tekanan dari sektor pertambangan batu bara dan melemahnya penjualan mobil di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, laba bersih Grup Astra, sebelum memperhitungkan penyesuaian nilai wajar atas investasi di GoTo dan Hermina, tercatat sebesar Rp7,4 triliun. Angka ini 9 persen lebih rendah dari kuartal pertama 2024. Penurunan laba bersih per saham pun ikut terdampak, turun 9 persen menjadi Rp182. Sementara itu, jika memperhitungkan penyesuaian nilai wajar atas investasi di GoTo dan Hermina, laba bersih perseroan turun 7 persen menjadi Rp6,93 triliun.
Meski pendapatan bersih konsolidasian Grup naik tipis sebesar 3 persen menjadi Rp83,4 triliun, hal tersebut belum mampu mengimbangi tekanan dari lini bisnis pertambangan dan otomotif.
Harga batu bara yang menurun dari level tertingginya serta curah hujan tinggi yang menghambat jasa penambangan menjadi faktor utama pelemahan sektor energi Astra.
Di sisi lain, lesunya industri otomotif yang ditandai dengan penurunan penjualan mobil turut membebani kinerja, meskipun sebagian tertolong oleh peningkatan kontribusi dari penjualan sepeda motor. Pangsa pasar segmen otomotif Astra tetap tangguh di tengah pasar nasional yang lesu.
Presiden Direktur Astra International, Djony Bunarto Tjondro, menyatakan bahwa kondisi ekonomi yang masih lemah dan tekanan harga komoditas menjadi tantangan utama.
“Meskipun terdapat penurunan pada bisnis otomotif dan batu bara, hal ini sebagian diimbangi oleh kontribusi lebih tinggi dari lini jasa keuangan, infrastruktur, dan agribisnis. Ini menunjukkan kekuatan portofolio Astra yang terdiversifikasi,” ujarnya.
Hingga 31 Maret 2025, nilai aset bersih per saham meningkat 4 persen menjadi Rp5.468. Kas bersih Grup, tidak termasuk anak perusahaan jasa keuangan, naik signifikan menjadi Rp16,1 triliun dari sebelumnya Rp8 triliun pada akhir 2024. Namun, utang bersih anak perusahaan jasa keuangan meningkat menjadi Rp63 triliun, dari Rp60,2 triliun pada akhir tahun lalu.
Manajemen menegaskan komitmen untuk terus menjaga disiplin keuangan dan operasional, seraya memanfaatkan peluang pertumbuhan jangka panjang melalui portofolio bisnis yang solid dan beragam.
“Didukung oleh neraca keuangan yang kuat, portofolio Grup yang terdiversifikasi berada dalam posisi yang baik untuk memanfaatkan peluang pertumbuhan jangka panjang,” kata Djony.