Laba Naik 579%, Kinerja Indo Tambangraya Terdongkrak Harga Batu Bara

Jakarta, FORTUNE - Kinerja PT Indo Tambangraya Megah Tbk pada sembilan bulan pertama tahun ini sangat signifikan. Perusahaan pertambangan batu bara ini berhasil menangguk untung US$271,50 juta atau lebih dari Rp3,8 triliun.
Posisi laba perseroan itu tumbuh 579,0 persen ketimbang periode sama tahun sebelumnya. Laba emiten berkode ITMG itu bahkan sudah melebihi posisi sebelum era pandemi COVID-19 (Januari-September 2019), yakni US$101,22 juta.
“Di tengah peningkatan harga batu bara yang tajam, perusahaan tetap menerapkan efisiensi biaya secara disiplin untuk mampu memaksimalkan keuntungan dari momentum kenaikan harga sehingga menghasilkan kinerja keuangan yang solid sekalipun pandemi berkepanjangan dan kegiatan penambangan melambat akibat hujan ekstrem yang terus menerus,” kata Direktur Utama Indo Tambangraya Megah Mulianto dalam keterangan resmi, Senin (15/11).
Perusahaan pada periode sama mereguk pendapatan US$1,32 miliar atau setara Rp19,19 triliun, meningkat 51,8 persen dari US$871,88 juta pada Januari-September tahun lalu.
Posisi kas dan setara kas juga tumbuh 144,4 persen menjadi US$509,91 juta. Sementara, aset perusahaan meningkat 30,3 persen menjadi US$1,51 miliar.
Progres penjualan batu bara
Menurut Mulianto, sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini perusahaan beroleh rata-rata harga batu bara sebesar US$89 per ton, atau naik 65 persen dari US$53,8 per ton pada periode sama tahun sebelumnya. Sementara, total volume penjualan mencapai 14,8 juta ton.
Dia mengatakan perusahaan menargetkan volume penjualan tahun ini sekitar 20,2–20,4 juta ton tahun ini, dan seluruhnya telah beroleh kontrak penjualan. Perinciannya, kata Mulianto, sebanyak 84 persen harga jualnya telah ditetapkan, sedangkan sisanya yang 16 persen mengacu pada indeks harga batu bara.
Perusahan telah menjual belasan juta ton batu bara itu ke sejumlah negara, terdiri dari Tiongkok (4,1 juta ton), Indonesia (3,2 juta ton), Jepang (2,1 juta ton), Filipina (1,4 juta ton), Thailand (1,0 juta ton), dan negara-negara lain di Asia Timur, Tenggara, dan Selatan serta Oseania.