Jakarta, FORTUNE – Lembaga penelitian MarketsandMarkets menerbitkan laporan yang menyebutkan bahwa pasar global pertanian vertikal diperkirakan akan tumbuh dari US$3,1 miliar pada 2021 menjadi US$9,7 miliar pada 2026. Angka ini didapat dengan analisis dampak COVID-19 yang didasarkan pada mekanisme pertumbuhan, struktur, jenis tanaman, penawaran, dan wilayah.
Menurut sebuah riset agritech dari Universitas Hasanuddin, pertanian vertikal merupakan sebuah metode penanaman bertingkat atau vertikal. Konsep ini diaplikasikan sebagai upaya meminimalisir penggunaan lahan pertanian yang luas, dengan menggunakan dua prinsip utama, yakni hidroponik dan pertanian vertikultur.
Laporan MarketsandMarkets menyebutkan bahwa pasar pertanian vertikal sebenarnya baru saja mengalami penurunan pada 2020 karena pandemi COVID-19 yang merebak di berbagai wilayah dunia. Pandemi telah membuat sejumlah usaha pertanian masyarakat dalam skala kecil terpaksa tutup, gangguan logistik, pembatasan aktivitas, dan beberapa masalah lain. Pengeluaran pun terfokus pada sektor kesehatan.
“Pasar akan mengalami pemulihan parsial pada akhir tahun 2021, diikuti oleh pergerakan naik yang tumbuh pada tahun 2022 karena pasar mulai pulih. Meningkatnya kesadaran akan kebersihan dan keamanan juga meningkatkan permintaan untuk pertanian vertikal dan produk-produknya,” tulis riset pasar ini (29/11).
Perkiraan pertumbuhan ini, menurut laporan, diharapkan ada pada compound annual growth rate (CAGR) sebesar 25 persen selama periode perkiraan. Berikut adalah beberapa hal yang menjadi indikator tumbuhnya pasar pertanian vertikal beberapa tahun ke depan.