Jakarta, FORTUNE – Amerika Serikat (AS) kembali dihantui resesi. Tingginya inflasi di Negeri Paman Sam telah mendorong The Fed mengambil langkah agresif dalam mendongkrak suku bunga acuan. Lantas, seperti apa dampaknya bagi Indonesia?
“Kami menghadapi inflasi (dengan agresif) dan akan melakukannya semampu kami untuk mengembalikannya ke tingkat yang lebih normal, ke level 2 persen. Kami akan lakukan apapun untuk mewujudkannya,” kata Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic, dikutip dari Reuters, Selasa (21/6).
Mengacu pada Consumer Price Index (CPI), inflasi AS menyentuh 8,6 persen (YoY) saat ini. Capaian itu merupakan yang tertinggi selama lebih dari 4 dekade terakhir.
Untuk mengatasi inflasi, mayoritas anggota komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) The Fed melihat suku bunga di akhir 2022 mencapai 3,4 persen atau di kisaran 3,25 persen–3,5 persen. Proyeksi itu melampaui level netral, yakni 2,5 persen – 2,75 persen.
Suku bunga netral berarti tak memantik perlambatan ataupun mendorong perekonomian. Namun, jika suku bunga makin jauh dari level netral, maka risiko perlambatan ekonomi dan resesi semakin meningkat.
Mengacu pada pola pergerakan harga di pasar modal, JP Morgan memproyeksikan, peluang AS kembali kembali mengalami resesi mencapai 85 persen.
Sepanjang 2022 saja, indeks S&P telah terkoreksi 21,51 persen. JP Morgan menyebut, rata-rata indeks S&P 500 tergerus 26 persen selama 11 resesi yang terjadi.