Pemerintah Setop Ekspor Batu Bara, Bagaimana Dampaknya ke Harga?

Jakarta, FORTUNE – Pemerintah melarang ekspor batu bara pada 1-31 Januari. Bagaimana kebijakan tersebut berdampak ke harga komoditas di pasar internasional?
Kebijakan penyetopan ekspor komoditas emas hitam itu tertuang dalam surat Ditjen Minerba No.B-1605/MB.05/DJB.B/2021 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pemerintah beralasan kebijakan ini demi menjamin pasokan batu bara PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, keputusan pemerintah itu mendapatkan protes dari kalangan pengusaha.
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor utama batu bara dunia. Berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA), ekspor batu bara Indonesia pada 2020 diperkirakan 404 juta metrik ton atau 31,3 persen ekspor dunia. Pengekspor batu bara terbanyak lainnya adalah Australia (366 juta metrik ton) dan Rusia (207 juta metrik ton).
Menurut Trademap, Indonesia pada 2020 mengekspor batu bara ke India hingga 98,24 juta ton, Tiongkok 62,49 juta ton, Filipina 28,06 juta ton, dan Jepang 26,97 juta ton.
Hukum permintaan dan penawaran
Menurut Direktur Eksekutif ReforMIner Institute, Komaidi Notonegoro, harga komoditas berpotensi naik jika suplai terbatas namun permintaan membubung.
“Jadi hampir dapat dipastikan kalau ini recover terus permintaannya masih ada dan Indonesia tidak melakukan ekspor harga di pasaran internasional kemungkinan besar akan naik,” katanya kepada Fortune Indonesia, Selasa (4/1). Namun, menurutnya, kenaikan harga kemungkinan akan berlangsung sesaat seiring masa berlaku kebijakan penyetopan.
Kepada The Global Times, Direktur Pusat Penelitian Ekonomi Energi Tiongkok di Universitas Xiamen, Lin Bogjang, juga mengatakan larangan ekspor sementara kemungkinan akan mengerek harga batu bara. Hal itu juga bisa membuat gelombang kejutan harga di pasar global dalam jangka pendek.
Berdasarkan data Trading Economics, pada perdagangan Selasa (4/1) harga batu bara naik 9,1 persen menjadi US$171,75 per metrik ton, meningkat 103,25 persen secara tahunan.
Namun, harga komoditas tersebut sudah lebih rendah dari nilai tertinggi di atas US$200an per metrik ton pada Oktober 2021. Pada saat itu, harga naik seiring lonjakan permintaan dari sejumlah negara, salah satunya Tiongkok yang tercekik krisis energi.