Perdagangan IHSG setelah lebaran. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras)
Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih memperkirakan IHSG bergerak sideways selama minggu ini, dengan peluang cenderung menguat terbatas di kisaran 6.850-6.955.
Sentimen yang dapat mempengaruhi pola gerak IHSG dalam satu pekan ini, di antaranya: nilai tukar rupiah yang berada di level Rp15.297 per dolar Amerika Serikat (AS) per 25 Agustus. Itu terdepresiasi minus 1,19 persen sejak awal Agustus 2023. Jika dibandingkan dengan penguatan tertinggi pada Mei lalu, yakni di level Rp14.632 per dolar AS, maka rupiah sudah terdepresiasi minus 4,45 persen.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mata uang rupiah kembali melemah. Secara domestik, walaupun neraca dagang Indonesia masih mengalami surplus selama 39 beruntun hingga Juli 2023, nilainya telah menyusut jika dibandingkan dengan tahun 2022.
Surplus neraca dagang menurun karena PMI manufaktur negara maju yang masih di level kontraksi, lesunya ekonomi Cina sebagai mitra dagang terbesar non-migas Indonesia dan normalisasi harga jual komoditas non-migas, seperti batubara, nikel, CPO, besi dan baja.
Adapun neraca pembayaran pada kuartal II-2023 mengalami defisit US$7,4 miliar, setelah 2 kuartal sebelumnya masih tercatat surplus. "Kondisi ini berpotensi menurunkan cadangan devisa sebagai penopang stabilitas nilai tukar rupiah," jelas Ratih.
Sementara itu, kondisi eksternal juga memicu pelemahan nilai tukar rupiah. Misalnya, beberapa Bank Sentral di Kawasan Eropa, Inggris dan Amerika Serikat (AS) yang diproyeksi masih menetapkan suku bunga tinggi hingga akhir tahun 2023.
Kondisi terbaru, pelaku pasar mencermati pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell dalam forum Jackson Hole Symposium pada 26 Agustus 2023, masih menunjukkan sifat hawkish dengan sinyal kenaikan suku bunga pada FOMC September mendatang.
Ratih bilang, "Nada tersebut jadi sentimen negatif untuk rupiah karena spread suku bunga BI dan The Fed berpotensi 0 persen."
Menurunnya nilai tukar rupiah berdampak negatif bagi beberapa emiten di sektor yang bergantung pada impor, emiten yang memiliki global bond, dan emiten dengan tingkat leverage yang tinggi. Sektor yang masih bergantung pada impor, di antaranya: consumer, farmasi, dan ritel (komponen otomotif dan elektronik).
Hal itu berdampak pada kenaikan beban produksi, sehingga menekan margin. Emiten yang memiliki global bond juga perlu diperhatikan karena pembayaran kupon/bunga sebagian besar berlandaskan pada dolar AS, yang mana selisih kurs tersebut dapat menyusutkan profitabilitas emiten. Adapun emiten dengan leverage yang tinggi dan sensitif terhadap suku bunga, seperti di sektor konstruksi dan properti juga terkena katalis negatif.
Di sisi lain, emiten yang diuntungkan dari pelemahan nilai tukar rupiah adalah yang berbasis pada ekspor dan mata uang fungsional dalam penyajian laporan keuangan dalam dolar AS. Contohnya emiten di sektor komoditas dengan pangsa ekspor lebih besar, serta emiten di sektor logistik dan shipping.
"Melemahnya nilai tukar rupiah membuat hasil ekspor Indonesia lebih menarik dalam perdagangan internasional," kata Ratih.
Dus, pekan ini, Ratih menyoroti saham-saham berikut ini: MDKA, HRUM, dan ULTJ.