Jakarta, FORTUNE - Pelaku pasar modal memproyeksikan aksi panic selling para investor hanya berlangsung dalam jangka pendek. Dengan catatan, ada sejumlah kondisi yang harus terpenuhi.
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy, mengatakan, indeks acuan saham tentu akan bereaksi negatif terhadap dinamika aksi demonstrasi yang terjadi. Koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diharapkan tidak akan melebihi 1 persen, walaupun di awal pekan ini lebih besar dari itu.
Pada akhir perdagangan sesi I, Senin (1/9), IHSG ditutup melemah 0,76 persen di level 7.770,98 setelah dibuka di level 7.620,10.
"Saya pikir aksi jual akan mengikuti kondisi keamanan kita. Jika segera terkendali, mungkin saja panic selling-nya hanya [terjadi] 1 sampai dengan 2 hari," katanya kepada Fortune Indonesia.
Sebagai konteks, Mirae Asset Sekuritas Indonesia (MASI) mencatat, investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp1,1 triliun di pasar saham pada Jumat (29/8). Nilai tukar rupiah pun melemah signifikan pada Jumat, ditutup di atas level Rp16.490 per dolar AS.
MASI menilai, pemulihan dan kepercayaan pasar dalam beberapa hari ke depan akan sangat ditentukan oleh seberapa cepat penanganan dilakukan kepada kondisi sosial, politik, dan keamanan.
"Kondisi ekonomi Indonesia tergolong tidak buruk, meski juga tidak outstanding. Apabila kepercayaan investor tidak dipulihkan, maka terjadi gangguan ketidakstabilan ekonomi dalam jangka pendek," kata Ekonom dan Kepala Riset MASI, Rully Wisnubroto dalam riset hariannya.
Di tengah kondisi pasar saat ini, Budi mengimbau para investor untuk tidak panik, juga menyarankan emiten untuk melakukan pembelian kembali saham (buyback) jika harga sahamnya sangat tertekan.
Selain itu, Bank Indonesia pun diminta harus lebih menjaga stabilitas nilai rupiah. "Dengan menjual dolar Amerika Serikat (AS)," ujar Budi.