Jakarta, FORTUNE - Keberhasilan proyek waste-to-energy (WTE) tidak hanya ditentukan oleh teknologi insinerator atau besarnya investasi.
Menurut Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Pandji Prawisudha, kunci utama keberhasilan justru terletak pada pemahaman yang tepat mengenai karakteristik sampah dan kesiapan proses pretreatment sebelum sampah masuk ke fasilitas pengolahan.
Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari negara lain, termasuk kegagalan parsial proyek insinerator di Phuket, Thailand. Padahal Thailand telah mengoperasikan 64 PLTSa yang tersebar di berbagai wilayah, unggul jauh dari Indonesia yang baru mengoperasikan beberapa fasilitas.
“Kasus Phuket menarik. Kapasitas desainnya 250 ton per hari dengan target listrik 2,5 MW. Namun, sejak beroperasi setelah 1999, listriknya tidak pernah lebih dari 1,8 MW,” kata dia dalam acara Waste to Energy Investment Forum 2025 di Jakarta, Rabu (19/11),.
Setelah diteliti, penyebab utamanya adalah kesalahan pada fase sebelum feasibility study, terutama terkait komposisi sampah.
Pada studi awal, kandungan organik sampah Phuket mencapai 34 persen. Namun saat pengoperasian, angka itu melonjak menjadi 49–60 persen, dan kini bahkan 65–69 persen.
“Artinya, proses sampling sampah dalam studi kelayakan sangat penting. Jangan sampai investor salah membaca karakteristik sampah Indonesia,” kata Pandji.
Menurutnya, komposisi sampah Indonesia—yang umumnya memiliki 55–60 persen sampah organik—menjadikannya sangat sensitif terhadap produksi listrik.
Semakin tinggi kandungan organik dan kadar air, semakin rendah potensi energi yang dihasilkan.
Dalam kondisi ekstrem seperti musim hujan atau periode menjelang Lebaran, sampah menjadi lebih basah dan didominasi sisa makanan, sehingga berpotensi menurunkan kinerja insinerator. Kondisi ini bisa menjadi masalah besar bila tidak diantisipasi sejak awal.
“Kalau dari 1.000 ton sampah, 50 persennya air, maka yang kita proses sebenarnya adalah air, bukan bahan bakar,” kata dia.
