Kenapa Sri Mulyani Berikan Tax Amnesty Lagi ke Pengemplang Pajak?

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan latar belakang pemerintah kembali membuka pengampunan pajak melalui program pengungkapan sukarela dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ia mengatakan program ini bertujuan mempersempit kemungkinan para konglomerat atau pengusaha melakukan penghindaran pajak atau tax avoidance.
"Program pengampunan pajak akan diperkuat untuk mempersempit kemungkinan masyarakat, wajib pajak, atau pengusaha bisa melakukan apa yang disebut penghindaran pajak," ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (7/10).
Mantan Direktur Bank Dunia itu juga menegaskan pemerintah hanya memberikan satu kesempatan lagi kepada WP yang belum mendeklarasikan objek pajaknya sebelum akhirnya memberikan sanksi sesuai dengan aturan berlaku.
Skema pengampunan pajak akan dibagi ke dalam dua kelompok, yakni mereka yang pada 2016 sudah mengikuti dan mereka yang belum mengikuti sama sekali.
Bagi wajib pajak yang telah ikut "tax amnesty Jilid I" bisa mendapat tarif PPh Final murah bila berkomitmen menginvestasikan dananya di Indonesia.
Sedangkan untuk mereka yang baru pertama kali mengikuti skema tax amnesty dan akan mendeklarasikan aset perolehan periode 2016-2020, tarif yang dikenakan adalah 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
Efektivitas Dipertanyakan
Kendati demikian, sejumlah pengamat dan ekonom mempertanyakan efektivitas program pengampunan pajak dalam mencegah tax avoidance yang menjadi latar belakang kebijakan tersebut.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid, misalnya, mengatakan bahwa program tax amnesty Jilid I pada Oktober 2016-Maret 2017 hanya berhasil merepatriasi aset senilai Rp16,7 triliun dibandingkan dengan periode pertama (Juli-September 206) yakni sebesar Rp130 triliun.
Karena itu, menurut Tauhid, kebijakan ini takkan efektif meningkatkan rasio pajak karena para pengusaha yang mengemplang pajak menganggap pemerintah tidak serius menegakkan aturan.
"Di samping itu mereka yang sudah ikut tax amnesty pertama kali 2016 lalu juga pasti menyesal. Ngapain ikut kalau ternyata tahu ada tax amnesty lagi. Yang sekarang pun akan berpikir sama, nanti juga ada lagi," tuturnya.
Hal serupa juga disampaikan Bahana Sekuritas dalam kajiannya. Menurut Bahana, jika pemerintah bertujuan mengerek pendapatan negara, langkah paling baik seharusnya mengenalkan skema pajak digital yang sudah diterapkan di beberapa negara lain seperti Austria, Prancis, India, Italia, UK, Spanyol, dan Turki.
Terlebih, perkembangan perusahaan berbasis digital dan teknologi di Indonesia sudah sangat pesat. Jika ini dapat dilakukan, maka pemerintah dapat menerima tambahan pendapatan minimal Rp21,3 triliun.