Jakarta, FORTUNE - Di tengah kebuntuan taktis akibat peperangan elektronik (electronic warfare) masif, militer Rusia dan Ukraina kian berkonsentrasi menerapkan teknologi drone serat optik yang tidak dapat dilumpuhkan oleh sistem pengacak sinyal.
Namun, inovasi ini menciptakan tantangan baru berupa "jaring laba-laba" kawat yang menyelimuti medan tempur, menciptakan bahaya fisik bagi pasukan di lapangan sekaligus ancaman polusi jangka panjang.
Berdasarkan laporan DroneLife, drone serat optik adalah alat dengan sistem first-person-view (FPV) yang terhubung ke operator melalui kabel serat optik ultra-tipis sebagai pengganti tautan radio.
Karena sinyal dikirim secara fisik, drone ini menjadi kebal terhadap alat pengacak sinyal (jamming) dan pemalsuan sinyal (spoofing).
DroneLife menilai teknologi ini memungkinkan transmisi video berkualitas HD berlatensi sangat rendah, bahkan di lingkungan yang padat gangguan frekuensi radio.
Meskipun efektif secara militer, penggunaan drone ini meninggalkan ribuan kilometer kabel yang menjuntai di seluruh area pertempuran.
Menurut laporan Business Insider, kabel-kabel ini sering kali tersangkut di pepohonan dan ladang. Kondisi tersebut memaksa prajurit bergerak dengan sangat hati-hati.
Khyzhak, seorang operator khusus Ukraina dari Resimen Ranger ke-4, mengungkapkan kepada Business Insider tentang betapa membingungkannya situasi di lapangan.
"Kami melihat ada jaring-jaring kecil, dan sulit menduga apakah itu berasal dari drone serat optik atau bagian dari ranjau," ujarnya.
Menurutnya, kabel-kabel tersebut menjadi masalah taktis serius, terutama pada misi malam hari ketika jarak pandang terlampau rendah. Prajurit harus memutuskan apakah akan meledakkan jaring tersebut, memanggil teknisi, atau berhenti. Ini pada gilirannya memperlambat tempo misi.
Saat ini, kedua belah pihak tengah berpacu mengembangkan varian yang mampu terbang lebih jauh. Terdapat ketidaksinkronan data mengenai jangkauan maksimal teknologi ini.
Berdasarkan laporan Business Insider, panjang kabel biasanya memiliki jangkauan 10-25 kilometer. Namun, Wakil Perdana Menteri Ukraina, Mykhailo Fedorov, menyatakan kepada NewsUkraine bahwa Rusia mulai menggunakan drone serat optik yang mampu mencapai jarak 50 kilometer.
Fedorov menekankan, drone yang kebal terhadap sistem pengacak sinyal ini merupakan ancaman nyata bagi logistik dan personel.
Sebagai bentuk pertahanan, pasukan Ukraina telah menutupi jalan-jalan utama dengan jaring pelindung untuk menjaga kendaraan dari serangan. Di sisi lain, Ukraina juga berjanji mencapai tingkat produksi 1.000 drone interseptor per hari sebagai jawaban atas serangan Rusia.
Di luar urusan militer, organisasi CEOBS menyoroti dampak lingkungan yang mengkhawatirkan dari kabel serat optik ini.
Mayoritas kabel menggunakan Polymer Optical Fibre (POF) yang terdiri dari inti plastik dan lapisan fluoropolimer.
Menurut CEOBS, material ini mengandung PFAS (per- and polyfluoroalkyl substances) yang dikenal sebagai "bahan kimia abadi" karena tidak dapat terurai secara alami dan dapat mencemari air serta tanah selama ratusan tahun.
Selain polusi kimia, kabel-kabel yang sangat kuat ini menimbulkan risiko jeratan mematikan bagi satwa liar seperti burung dan kelelawar.
Charlie Russell, peneliti dari University of East Anglia, menjelaskan melalui CEOBS bahwa kabel ini bertindak seperti "pagar di langit" yang mengurangi akses satwa ke habitat berkualitas tinggi.
Kabel-kabel ini diperkirakan dapat bertahan di lingkungan selama lebih dari 600 tahun.
Perkembangan teknologi drone ini terjadi saat invasi skala penuh Rusia hampir memasuki tahun keempat.
Data dari Council on Foreign Relations (CFR) menunjukkan Rusia masih menduduki sekitar 20 persen wilayah Ukraina dan berhasil merebut 4.000 kilometer persegi wilayah tambahan sepanjang 2024.
Hingga kini, Ukraina telah menerima bantuan militer dan kemanusiaan berskala besar, termasuk sekitar US$175 miliar dari Amerika Serikat dan US$197 miliar dari Uni Eropa, menurut CFR.
