Jakarta, FORTUNE - Apa itu hiperinflasi? Pertanyaan demikian mungkin muncul di kepala Anda lantaran sering diucapkan para pejabat negeri belakangan ini.
Dalam beberapa bulan terakhir, kata hiperinflasi seolah jadi momok yang menakutkan bagi banyak negara di tengah ancaman kenaikan harga komoditas global.
Bahkan, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo mewanti-wanti hal tersebut kepada pemerintah dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI & DPD RI pada Selasa (16/8) pekan lalu.
Kekhwatiran itu disebabkan oleh kenaikan berturut-turut inflasi nasional dalam beberapa bulan terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Juli 2022, laju inflasi telah berada di level 4,94 persen.
Dengan dinamika dunia yang masih penuh ketidakpastian--terganggunya rantai pasok akibat perang Rusia-Ukraina dan peningkatan tensi geopolitik kawasan yang berpotensi memicu konflik baru--ancaman demikian menjadi kian wajar.
"Pada bulan September 2022, kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiper-inflasi dengan angka inflasi pada kisaran 10 hingga 12 persen," kata Bambang.
Namun, apa sebenarnya hiperinflasi?
Menurut kamus Cambridge, hiperinflasi adalah kondisi di mana harga segala sesuatu dalam perekonomian nasional menjadi tidak terkendali dan meningkat dengan sangat cepat. Sejauh ini, garis antara inflasi wajar dengan hiperinflasi memang masih agak kabur.
Namun, para ekonom kontemporer umumnya menggunakan istilah ini untuk situasi di mana tingkat harga melewati level 50 persen per bulan atau per tahun.
Adapun Wakil Presiden RI ke-11 Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia, mengatakan hiperinflasi ditandai dengan ditandai dengan laju inflasi yang sangat tinggi, yakni sekitar 100 persen atau lebih. Namun ada satu ciri khas yang membedakan hiperinflasi dengan inflasi biasa, kata dia: hilangnya kepercayaan orang memegang uang.