Jakarta, FORTUNE - Ketegangan meningkat di Laut Merah setelah Amerika Serikat dan Inggris membombardir milisi Houthi Yaman yang melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal di jalur perdagangan strategis tersebut.
Serangan pada Kamis malam waktu setempat ini menambah kekhawatiran pasar tentang potensi dampak konflik lebih luas di Timur Tengah terhadap pasokan minyak dari wilayah tersebut, terutama yang bergerak melalui Selat Hormuz yang kritis.
"Jika sebagian besar aliran Selat Hormuz terhenti, hal itu akan memberikan dampak hingga tiga kali lipat dari guncangan harga minyak pada 1970-an dan lebih dari dua kali lipat dampak perang Ukraina terhadap pasar gas, di atas rantai pasokan dan tingkat stok yang sudah rapuh," kata Saul Kavonic, seorang analis energi di MST Marquee, seperti dikutip Reuters, Jumat (12/1).
Hari ini dampak serangan tersebut langsung terlihat pada pergerakan harga minyak global. Kontrak berjangka Brent naik dua persen atau US$1,52 menjadi $78,93 per barel pada Kamis (11/1) pukul 07.28 GMT atau sekitar pukul 14.28 pada Jumat (12/1) waktu Jakarta. Demikian pula kontrak berjangka minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS, dengan kenaikan naik US$1,43 atau 2 persen menjadi US$73,45 per barel
Serangan AS dan Inggris merupakan salah satu demonstrasi paling dramatis sejak perang Israel-Hamas pada Oktober 2023 lalu. Laporan saksi mata di Yaman mengkonfirmasi adanya ledakan di seluruh kota Yaman.
Presiden AS Joe Biden mengatakan "serangan yang ditargetkan" tersebut adalah pesan yang jelas bahwa AS dan mitranya tidak akan mentolerir serangan terhadap pasukannya atau "membiarkan pelaku yang bersikap bermusuhan membahayakan kebebasan navigasi".
Juru Bicara Houthi mengatakan kelompok tersebut akan terus menargetkan pengiriman menuju Israel.