Jakarta, FORTUNE - Pemerintah mengakui pemanfaatan potensi panas bumi (geotermal) Indonesia yang masif masih terganjal dua masalah utama: regulasi rumit dan minimnya infrastruktur transmisi. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah berjanji menyederhanakan aturan dan mempercepat pembangunan jaringan demi menarik minat investor pada sektor energi hijau ini.
Kenyataannya, dari total potensi panas bumi sebesar 23.742 megawatt (MW), pemanfaatannya baru mencapai sekitar 2.744 MW atau 11,6 persen dari total cadangan yang ada.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan regulasi berbelit menjadi salah satu ganjalan serius. Menurutnya, pembiayaan dan belanja modal bukanlah satu-satunya tantangan.
“Di Indonesia masih ada 90 persen potensi yang belum dikelola. Pembiayaan dan belanja modal memang penting, tapi harus saya akui peraturan kita masih macam-macam. Investor tidak suka. Semakin berbelit, semakin tidak disukai,” kata Bahlil dalam The 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition 2025 yang disiarkan secara virtual, Rabu (17/9).
Selain regulasi, Bahlil menyoroti kendala lain yang tidak kalah besar, yaitu terbatasnya jaringan transmisi untuk menyalurkan listrik dari sumber panas bumi ke konsumen, bahkan bagi perusahaan yang telah mengantongi konsesi.
“Kita ada sumber daya, tapi tidak ada transmisinya. Jadi, bagaimana mungkin yang sudah mendapatkan konsesi bisa mengerjakan sesuai target kalau jaringan tidak ada. Mau dijual ke mana listriknya,” ujarnya.
Sebagai langkah konkret, pemerintah tengah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2035. Dalam rencana tersebut, akan ada penambahan jaringan transmisi sekitar 48.000 kilometer sirkuit (kms) untuk mempercepat pemanfaatan panas bumi yang selama ini tertahan.
Dari sisi bisnis, Bahlil menilai prospek investasi geotermal sangat cerah. Pemerintah telah menetapkan tarif listrik panas bumi yang kompetitif, yaitu 9,5 sen dolar AS per kWh untuk 10 tahun pertama. Dengan skema ini, titik impas (break even point/BEP) diperkirakan tercapai dalam delapan tahun.
Setelah itu, tarif akan turun menjadi 7,5 sen dolar AS per kWh untuk 20 tahun berikutnya, memberikan kepastian jangka panjang bagi investor.
“Makanya barang ini seperti emas. Namanya 'emas uap.' Harganya pun yang pemerintah telah terapkan cukup ekonomis,” ujar Bahlil.