Jakarta, FORTUNE - Kalangan ekonom memprediksi Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada level 4,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Desember 2025. Langkah itu dinilai sebagai opsi paling rasional di tengah fluktuasi pasar finansial global, meskipun ruang pelonggaran moneter mulai terbuka.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menyatakan BI kemungkinan besar masih menahan suku bunga acuannya. Keputusan ini diambil sembari memantau perkembangan pasar global serta efektivitas insentif dan pemotongan bunga sebelumnya.
Dia menyoroti indikator pertumbuhan kredit terakhir yang masih stagnan pada level 7,36 persen (year-on-year/YoY) pada Oktober 2025. Namun di sisi lain, indikator sektor riil seperti PMI dan penjualan eceran mulai memperlihatkan sinyal positif memasuki kuartal IV.
“Artinya, BI saat ini bisa memilih untuk menahan bunga sambil melihat transmisi dari insentif dan pemotongan bunga yang diberikan sebelumnya,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Senin (15/12).
Strategi ini dianggap memberikan ruang bagi bank sentral menjaga stabilitas yield SBN 10 tahun, serta nilai tukar rupiah yang bergerak relatif fluktuatif dalam dua bulan terakhir.
Senada dengan David, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memproyeksikan BI akan mempertahankan BI Rate pada level 4,75 persen. Padahal, ruang penurunan suku bunga sebenarnya tersedia seiring langkah pemotongan suku bunga Fed dan pernyataan bank sentral Amerika Serikat itu yang cenderung dovish pada FOMC Desember 2025.
Faktor fundamental domestik pun mendukung. Inflasi terjaga dalam rentang sasaran BI sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen, ditambah dengan berlanjutnya surplus neraca perdagangan.
“Kondisi ini juga masih membuka ruang untuk BI untuk melakukan pemangkasan BI Rate, sementara volatilitas dan CDS 5 tahun juga cenderung menunjukkan penurunan,” ujar Josua kepada Fortune Indonesia, Senin (15/12).
Namun, sentimen investor global yang masih cenderung menghindari risiko (risk-off) dan melanjutkan aksi wait and see menjadi penghambat. Sikap ini berdampak pada arus modal yang kemudian menekan pergerakan nilai tukar rupiah yang saat ini berada dalam tren sideways.
Josua menambahkan, data regional Asia Pasifik—terutama dari Tiongkok—yang cenderung melemah turut menambah risiko atas outlook ekonomi regional, meskipun fundamental ekonomi Indonesia dinilai masih cukup solid.
Selain itu, investor global juga menaruh perhatian pada risiko pelebaran defisit fiskal Indonesia di tengah agenda pro-pertumbuhan.
“Perubahan regulasi yang terjadi pada akhir tahun, seperti salah satunya terkait aturan DHE SDA, juga meningkatkan ketidakpastian sehingga membuat investor global lebih cautious lagi,” katanya.
Dua kondisi yang berseberangan tersebut menjadi tantangan utama dalam RDG Desember 2025. Bank Permata menilai risiko stabilitas rupiah saat ini lebih mendominasi, sehingga probabilitas BI Rate ditahan menjadi lebih besar.
Meski demikian, Josua tidak menutup kemungkinan adanya perubahan sikap BI jika pasar memberikan respons positif.
“Jika menjelang pengumuman hasil RDG kondisi rupiah mampu berbalik arah secara signifikan, maka bisa saja BI kembali shifting dari stance menjaga stabilitas dalam jangka pendek menjadi kembali ke pro-pertumbuhan dan memotong BI Rate 25 bps menjadi 4,50 persen,” ujarnya.
