Jakarta, FORTUNE - Rencana pemerintah mendorong penggunaan PLTS dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 diprediksi bakal terkendala masalah pembiayaan. Pasalnya, nilai investasi pembangkit tenaga surya di Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan rata-rata global.
Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika (KTI) Bappenas, Rachmat Mardiana, mengatakan tingginya biaya investasi itu disebabkan oleh berbagai faktor risiko, mulai dari hambatan perizinan hingga kurangnya akses kepada jaminan dan subsidi.
"Harga PLTS di Indonesia sendiri apabila dibandingkan dengan beberapa negara lain ada biaya yang lebih tinggi sekitar 80 persen," ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Potensi Instrumen Pengurangan Resiko Pada Pengembangan Energi Terbarukan', Selasa (12/10).
Sebagai catatan, dalam RUPTL 2021-2030 yang baru disahkan pekan lalu, pemerintah menargetkan penambahan PLTS sebesar 4,68 GW atau 12 persen dari total kapasitas tambahan yang direncanakan. Dari sisi persentase, besar kapasitas tambahan PLTS untuk mendorong bauran EBT hanya berada di bawah PLTA yang mencapai 10,39 GW (26 persen).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu, mengungkapkan biaya investasi PLTS secara global turun 80 persen dalam satu dekade terakhir.
Arifin tak menyebut berapa nilai investasi PLTS di Indonesia. Namun, parameter murahnya biaya pembangunan pembangkit tersebut bisa dilihat dari harga jual listriknya, bil khusus pada proyek yang tidak memerlukan pembebasan lahan.
Ia mencontohkan PLTS terapung Cirata berkapasitas 145 MW yang harga jual listriknya ke PLN hanya 5,8 sen dolar per kWh. Lalu, berdasarkan market sounding oleh PLN, penawaran harga listrik PLTS terapung di beberapa lokasi antara 3,68-3,88 sen dolar per kWh.
Jika dibandingkan dengan rata-rata harga tarif listrik EBT dunia, nilai tersebut memang lebih kecil. IRENA Report: Renewable Power Generation Costs in 2020 menunjukan bahwa rerata harga listrik dari PLTS di seluruh dunia hanya sebesar 5,7 sen dolar per kWh.