NEWS

Pemanasan Global Memburuk, Kawasan MENA Terancam Tidak Layak Huni

Kenaikan suhu di kawasan MENA diperkirakan mencapai 60°C.

Pemanasan Global Memburuk, Kawasan MENA Terancam Tidak Layak HuniIlustrasi pemanasan global yang ekstrim. (Pixabay/TheDigitalArtist)
12 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Selain penyelesaian masalah terkait pandemi COVID-19, dunia sedang berfokus pada persoalan yang lebih pelik, yakni perubahan iklim. COP26 masih berlangsung dan terus mengupayakan kata sepakat negara-negara di dunia dalam mencegah dampak perubahan iklim yang semakin memburuk. Pemanasan global adalah salah satu yang jadi perhatian dengan peningkatan suhu bumi signifikan.

Pertanyaannya, bila kondisi pemanasan global ini sudah buruk bagi negara beriklim tropis seperti Indonesia, lalu bagaimana dengan negara yang sudah memiliki suhu yang panas, seperti di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa/MENA)?

Melansir artikel di Al Jazeera (8/11), sebuah studi di jurnal Nature mengungkapkan bahwa pada beberapa dekade mendatang, beberapa daerah di bumi–seperti kawasan MENA–tidak layak huni, dengan potensi suhu mencapai 60°C atau bahkan lebih tinggi. Hal ini terjadi bila perubahan iklim tidak tertangani dengan baik dan peningkatan gas rumah kaca terus berlanjut.

Pada 2100, sekitar 600 juta penduduk, atau 50 persen populasi di kawasan MENA diperkirakan akan terdampak peristiwa cuaca super-ekstrem. “Berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, panas terik akan ‘berpotensi mengancam jiwa manusia’,” demikian proyeksi dalam studi tersebut.

Ancaman bencana yang belum pernah terjadi

Sejumlah ilmuwan dalam studi ini memperkirakan bahwa suhu panas ekstrem lebih dari 60°C akan menimbulkan bencana yang belum pernah dihadapi oleh peradaban manusia. Pusat-pusat kota besar di Teluk, Laut Arab, dan Laut Merah akan mengalami kenaikan suhu yang sangat parah. Bank Dunia memperkirakan bahwa belahan bumi ini akan menghadapi empat bulan yang sangat panas setiap tahunnya.

Sekitar 70 persen dari negara-negara yang akan mengalami kesulitan air saat pemanasan global semakin parah ada di MENA. Saat krisis air terjadi, iklim menghangat, maka dampak sosial dan ekonomi akan semakin parah.

Diperkirakan, lebih dari 12 juta orang Suriah dan Irak akan kehilangan akses mendapatkan air, makanan, dan listrik karena kenaikan suhu; curah hujan yang rendah akan mencapai rekor pada saat itu; dan kekeringan akan mengancam ketersediaan air minum serta sektor pertanian.

Paola Mercogliano, direktur Yayasan CMCC, mengatakan potensi intensifikasi gelombang panas di lingkungan MENA yang sudah keras, panas, dan gersang diperkirakan akan berdampak negatif langsung pada kesehatan manusia, pertanian, perhubungan air dan energi, dan banyak sektor sosial ekonomi lainnya. Konflik regional pun rawan terjadi karena perebutan sumber daya langka seperti air.

Menurutnya, MENA akan jadi wilayah yang paling menderita dari wilayah lain di dunia. “Selain itu, populasi manusia di wilayah MENA diproyeksikan mencapai puncaknya sekitar tahun 2065,” kata Mercogliano pada Al Jazeera. “Oleh karena itu, ancaman terhadap pasokan air di wilayah dengan kenaikan suhu sangat serius.”

Pentingnya kesadaran untuk selalu beradaptasi

Manusia adalah makhluk hidup dengan kemampuan beradaptasi yang baik. Situasi ekstrem yang terjadi, bahkan sudah diperkirakan sebelumnya, seharusnya dapat diatasi. Paling tidak, dampak yang mungkin terjadi dapat dicegah agar tidak semakin buruk. Oleh karena itu, Mercogliano mengatakan bahwa langkah-langkah adaptasi yang mahal akan sangat diperlukan.

Al Jazeera memberitakan bahwa Lebanon sedang mengembangkan danau di bukit dalam rangka melestarikan dan menyimpan air untuk irigasi. Mesir sedang berupaya untuk membangun pemecah gelombang yang akan melestarikan lahan basah dan instalasi pesisir dari intrusi air laut. Di Yordania, air limbah yang diolah sekarang digunakan untuk mengairi daerah pertanian.

“Sebuah proyek di Maroko memberdayakan perempuan untuk memanen air dari kabut, sementara di bagian Yordania lain, perempuan pedesaan diberdayakan untuk membantu mengatasi pertanian dalam konteks perubahan iklim,” kata Mercogliano.

Related Topics