Jakarta, FORTUNE – Bagi negara-negara besar, ketersediaan vaksin Covid-19 bukan masalah. Pasokan mereka dijamin para raksasa farmasi. Sayangnya, hal serupa tak berlaku di negara-negara miskin. Sebabnya jelas. Mereka mengandalkan kiriman dari negara-negara kaya.
Tidak mengherankan jika Amnesty International memandang enam perusahaan pemimpin peluncuran vaksin Covid-19 telah memicu krisis HAM. Pangkal soalnya, hak kekayaan intelektual (HAKI) atas vaksin tak sudi dilepaskan, dan teknologi vaksin tetap tersimpan di lacinya. Mayoritas perusahaan itu juga gagal mengutamakan pengiriman vaksin ke negara-negara miskin.
Dalam laporan terbaru bertajuk A Double Dose of Inequality: Pharma Companies and the COVID-19 Vaccines Crisis, Amnesty International menilai nasib miliaran orang di negara miskin berada di tangan enam raksasa farmasi. Sebut saja AstraZeneca plc, BioNTech SE, Jonhson & Johnson, Moderna Inc, Novavax Inc, dan Pfizer Inc.
Padahal, vaksinasi merupakan jalan keluar dari jerat krisis pagebluk yang telah berlangsung hampir dua tahun belakangan. Menukil laman resmi Amnesty, Sekretaris Umum Amnesty International, Agnès Callamard sampai berkata, “pemblokiran intensional oleh para raksasa farmasi terkait transfer pengetahuan dan kesepakatan mereka mendukung negara-negara kaya telah memicu kelangkaan vaksin yang dapat diprediksi dan begitu menghancurkan banyak orang lain.”