Jakarta, FORTUNE - Perbankan Indonesia berkontribusi hingga 12 persen terhadap total pembiayaan proyek batu bara di Asia Tenggara pada 2016-2024 atau setara US$3,96 miliar. Pembiayaan tersebut sebagian digunakan untuk mendanai proyek-proyek pembangkit listrik di Jakarta dan sekitarnya.
Temuan ini diungkapkan dalam riset terbaru Center for Energy, Ecology, and Development (CEED) bersama sejumlah organisasi sipil di Asia Tenggara seperti CELIOS bertajuk “Southeast Asia Fossil Fuel Divestment Scorecard 2025”.
Menurut laporan tersebut, total pembiayaan batu bara di kawasan Asia Tenggara mencapai US$32,48 miliar pada 2016-2024, di mana Indonesia, Filipina, dan Vietnam tercatat sebagai penerima terbesar.
Di Indonesia, terdapat tiga bank BUMN yang masuk dalam jajaran 10 perbankan dengan kucuran pembiayaan terbesar ke proyek batu bara dan gas. Bank Mandiri menduduki peringkat pertama dengan portofolio membiayai PLTU, sekaligus menjadi terbesar kedua di antara bank regional Asia Tenggara dan internasional.
Terbaru, pada September 2024, Bank Mandiri menyalurkan kredit refinancing senilai US$1,27 miliar untuk PLTU Sumsel-8 di Sumatera Selatan. Bank Mandiri sendiri hingga kini belum memiliki kebijakan eksplisit terkait penghentian pembiayaan batu bara, meski menyatakan akan mengikuti target pemerintah yang menetapkan penghentian batu bara pada 2040.
Dua bank BUMN lainnya, Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), menduduki peringkat ke-7 dan ke-8. Kedua bank memperoleh skor keberlanjutan rendah akibat ketiadaan kebijakan divestasi serta komitmen terbatas terhadap pembiayaan energi bersih.
Direktur Eksekutif Center for Energy, Ecology and Development (CEED) dan Konvenor Energy Shift Southeast Asia, Gerry Arances menyoroti investasi ke bahan bakar fosil ini harus dialihkan ke pendanaan energi terbarukan, dan mulai menetapkan target terukur dan tenggat waktu jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menghentikan seluruh pendanaan terhadap batu bara, minyak, dan gas fosil.
"Jika tidak, kawasan ini akan terjebak dalam siklus bencana yang terus meningkat, janji-janji yang diingkari, dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan. Ambisi ASEAN sekarang harus diimbangi dengan tindakan nyata, dan waktu untuk bertindak adalah sekarang,” kata Gerry merespon laporan ini, Selasa (3/6).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, laporan ini ada untuk mendesak mendesak bank-bank di Asia Tenggara, termasuk Bank Mandiri dan bank domestik Indonesia lainnya yang kerap menyalurkan pembiayaan ke sector batu bara. Dia berharap, perbankan menutup celah dalam kebijakan pembiayaan, seperti penjaminan atau penjualan sekuritas yang mendukung proyek atau perusahaan batu bara, serta memastikan anak perusahaan juga mematuhi kebijakan ini.
"Bank masih membiayai krisis iklim sambil meremehkan dampaknya terhadap risiko keuangan dan mengancam kualitas hidup masyarakat. Scorecard ini merupakan bentuk penilaian praktik buruk lembaga keuangan, dan kami akan terus memantau serta melaporkannya kepada publik. Mereka perlu berubah sebelum terlambat," ungkap Bhima.
Adapun, bank yang terlibat dalam mekanisme pensiun dini PLTU, diharapkan mengadopsi 10 Prinsip Panduan Pembiayaan untuk memastikan prioritas pada energi terbarukan, serta menghindari solusi palsu seperti co-firing amonia atau penangkapan karbon. Bank domestik di Indonesia dan Asia Tenggara juga bisa menyelaraskan kebijakan pembiayaan untuk mendukung transisi energi yang adil dan cepat sesuai target Paris 1,5°C.