Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
dok. PT RMK Energy Tbk

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Cina kembali menerapkan kebijakan pungutan impor (import levy) untuk batu bara yang berasal dari Rusia, Mongolia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat (AS).

Kebijakan tersebut berupa pengenaan tarif 6 persen untuk batu bara termal dan 3 persen untuk batu bara kokas, dan akan berlaku efektif awal tahun ini setelah pemerintah Cina menghapusnya pada Mei 2022 pasca perang Rusia-Ukraina. 

Bloomberg melaporkan bahwa aturan tarif bea masuk tersebut diterapkan untuk melindungi perusahaan pertambangan Cina dari konsekuensi kelebihan pasokan setelah produksi domestik juga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.

Rusia merupakan pengirim kedua terbesar batu bara ke Cina sejak 2022, dan kedua negara itu memiliki tujuan jangka panjang demi mencapai pasokan tahunan 100 juta ton—sebuah angka yang kemungkinan akan tercapai pada 2023 setelah impor Desember dihitung. 

Namun demikian, kebijakan ini akan berimbas negatif pada batu bara Rusia.

"Tidak ada negara lain yang dapat menerima pasokan sebesar ini," kata Su Huipeng, seorang analis dengan Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara Cina, seperti dikutip Bloomberg. "Eksportir harus memangkas harga dan menyerap biaya pajak tambahan."

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Asosiasi Penambang Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra SIanida mengatakan hal tersebut akan menguntungkan posisi Indonesia dan Australia yang hingga saat ini masih berupaya memulihkan penjualannya di Negeri Tirai Bambu. Apalagi, batu bara Indonesia dan Australia tetap mendapatkan bebas pungutan karena pakta perdagangan bebas.

"Setahu saya Indonesia dikecualikan dari kebijakan bea masuk batu bara tersebut karena ASEAN sudah punya Free Trade Agreement (FTA) dengan China yang resmi berlaku di Januari 2015," ujarnya kepada Fortune Indonesia (2/1).

Batu bara Indonesia diminati Tiongkok

Editorial Team

Tonton lebih seru di