Mao Zedong, pemimpin pertama Tiongkok, mencetuskan kemakmuran bersama atau common prosperity pada 1950-an. Kemudian, istilah itu kembali digaungkan oleh Deng Xiaoping pada 1980-an.
Saat itu, menurut Deng, membiarkan sekelompok orang dan daerah untuk lebih dulu menjadi kaya dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Bahkan, dia meniilai, cara itu dapat membantu mencapai tujuan akhir dari kemakmuran bersama.
Berkat kebijakan hibrida ‘sosialisme berkarakteristik Tiongkok’, negara itu memang berevolusi dari negara miskin menjadi salah satu ekonomi terkuat. Sayangnya, bersamaan dengan itu, lahir kesenjangan yang mengancam stabilitas sosial. Khususnya di antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Untuk itu, mengutip Reuters, kini pemerintahan Xi meluncurkan berbagai kebijakan demi merealisasikan kemakmuran bersama. Dari mengekang tax evasion (penghindaran pajak), pembatasan jam kerja karyawan sektor teknologi, melarang tutor privat mata pelajaran utama komersil, hingga secara ketat mengurangi waktu bermain video gim bagi anak di bawah umur legal.
Pemerintah setempat telah menyiapkan program uji coba di Provinsi Zhejiang, salah satu wilayah terkaya di negara itu. Tujuan akhirnya, yakni mengurangi kesenjangan pendapatan di sana pada 2025.
Bagi Tiongkok, kemakmuran bersama bukan egalitarianisme, paham yang meyakini semua orang di masyarakat harus memiliki hak yang setara sejak lahir. Menurut Pejabat di Komisi Urusan Keuangan dan Ekonomi Pusat, Han Wenxiu, mewujudkan kemakmuran bersama tidak ‘membunuh’ yang kaya untuk membantu yang miskin.
“Mereka yang sudah lebih dulu kaya harus membantu yang tertinggal, tetapi (tetap) harus didorong dengan kerja keras,” ujarnya.