Jakarta, FORTUNE - Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Cina memakan korban nyata pada industri penerbangan. Sebuah pesawat Boeing 737 MAX baru, yang telah dicat dengan corak maskapai Xiamen Airlines, terpaksa diterbangkan kembali ke Amerika Serikat pada Minggu (20/4), setelah sempat berada di fasilitas penyelesaian akhir Boeing di Tiongkok.
Pesawat tersebut mendarat dengan selamat di Boeing Field, Seattle, pada pukul 18.11 waktu setempat, seperti dilaporkan oleh Reuters. Sebelumnya, jet penumpang itu ditempatkan di completion center Boeing di Zhoushan, Tiongkok, menunggu proses serah terima resmi kepada Xiamen Airlines. Perjalanan pulang sejauh 8.000 kilometer ini memerlukan transit pengisian bahan bakar di Guam dan Hawaii.
Langkah tak biasa ini menjadi cerminan langsung dari memanasnya kembali tensi dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. Kebijakan tarif baru yang tinggi dilaporkan telah diberlakukan oleh Washington terhadap produk Tiongkok, yang kemudian dibalas oleh Beijing dengan tarif balasan signifikan untuk barang-barang asal AS.
Kondisi ini membuat maskapai Tiongkok berpikir ulang untuk menerima pengiriman pesawat baru dari AS. Beban biaya tambahan akibat tarif menjadi pertimbangan utama, terutama untuk pesawat sekelas 737 MAX yang menurut lembaga konsultan penerbangan IBA memiliki nilai pasar sekitar US$55 juta per unit.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada kejelasan mengenai pihak mana yang memutuskan pengembalian pesawat tersebut.
Pengembalian pesawat 737 MAX—yang notabene merupakan produk terlaris Boeing—secara gamblang menunjukkan dampak serius dari potensi berakhirnya era perdagangan bebas bea pada sektor kedirgantaraan, sebuah kebijakan yang telah dinikmati selama beberapa dekade.
Situasi ini menambah daftar panjang tantangan bagi Boeing, yang masih terus berupaya bangkit pasca-larangan terbang global 737 MAX beberapa tahun lalu serta menghadapi berbagai gejolak dagang sebelumnya.
Para analis industri penerbangan mewanti-wanti ketidakpastian akibat perang tarif dapat menyebabkan penundaan pengiriman pesawat lebih lanjut. Beberapa pimpinan maskapai dilaporkan lebih memilih menunda jadwal penerimaan armada baru daripada harus menanggung biaya ekstra akibat tarif yang berlaku.