Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Ilustrasi masyarakat belanja kebutuhan Lebaran.
Ilustrasi masyarakat belanja kebutuhan Lebaran. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Intinya sih...

  • Perputaran uang menurun 16,5 persen selama Ramadan dan Lebaran 2025.

  • Kontribusi momen Ramadan dan Idulfitri terhadap PDB turun 16,5 persen.

  • PHK besar dan penurunan IKK serta IPR menekan daya beli masyarakat.

Jakarta, FORTUNE - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) baru-baru ini menyampaikan analisis yang cukup mencemaskan terkait perputaran uang pada masa Ramadan dan Lebaran tahun ini.

Berbeda dari kondisi pada tahun sebelumnya, terjadi pelemahan signifikan dalam aktivitas perekonomian selama periode tersebut.

Secara spesifik, menurut CELIOS, tambahan jumlah uang beredar (JUB) dalam arti sempit (M1) hanya mencapai Rp114,37 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan tajam 16,5 persen dibandingkan dengan 2024 yang mencapai Rp136,97 triliun. Keadaan itu diprediksi akan berdampak pada pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang kurang optimal. 

Berdasarkan pemodelan yang dilakukan CELIOS, kontribusi momen Ramadan dan Idulfitri terhadap PDB pada 2024 mencapai Rp168,55 triliun. Namun, proyeksi untuk 2025 menunjukkan penurunan yang sama, yakni 16,5 persen, menjadi hanya Rp140,74 triliun.

Lebih lanjut, keuntungan yang dirasakan oleh para pengusaha juga diperkirakan menyusut menjadi Rp84,19 triliun, jauh di bawah tambahan pendapatan tahun lalu yang mencapai Rp100,83 triliun.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menyoroti situasi ini menjadi salah satu indikator melemahnya daya beli masyarakat sepanjang 2025. Ia menambahkan adanya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang begitu besar pada dua bulan pertama 2025 menjadi faktor utama yang menekan kemampuan belanja masyarakat.

Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan 18.610 pekerja telah terkena PHK dari Januari hingga Februari 2025. Jumlah ini melonjak dua kali lipat dibandingkan dengan periode sama pada 2024. Peningkatan angka pemecatan tersebut berkorelasi dengan pelemahan kinerja konsumsi, yang tecermin pada penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 0,4 persen secara bulanan (month-on-month/MoM).

“Situasinya cukup anomali. Jika kita mengacu pada periode 2022 hingga 2024, biasanya terjadi kenaikan IKK di bulan Januari  karena ada optimisme konsumen di awal tahun. Kondisi keyakinan konsumen melemah terjadi di bulan Februari 2025,” kata Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, dalam keterangannya yang dikutip Senin (7/4).

Data lain mengindikasikan adanya penurunan pada Indeks Penjualan Riil (IPR) yang mencapai 211,5 poin pada Januari 2025, turun dari 222 poin pada Desember 2024. Nailul Huda memperkirakan ketidakpastian konsumen terhadap kondisi perekonomian pada 2025 menjadi penyebab utama penurunan penjualan ritel, yang pada akhirnya semakin menekan daya beli masyarakat pada awal tahun ini.

Bhima pun menyoroti fenomena menarik ihwal porsi simpanan perorangan terhadap total dana pihak ketiga (DPK). Saat ini, porsi tersebut hanya mencapai 46,4 persen. Menurutnya, angka ini merupakan yang terendah dibandingkan dengan awal pemerintahan sebelumnya.

Sebagai perbandingan, pada awal periode pemerintahan Jokowi-JK, porsi simpanan perorangan mencapai 58,5 persen, dan pada awal periode Jokowi-Amin mencapai 57,4 persen.

“Hal ini mengindikasikan masyarakat cenderung bertahan hidup dengan menguras simpanan, karena upah riil terlalu kecil, tunjangan berkurang, dan ancaman PHK masih berlanjut,” ujarnya.

Dengan berbagai indikator tersebut, CELIOS memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2025 hanya akan mencapai 5,03 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar 5,11 persen.

“Faktor seasonal yang diikuti  pembagian THR tetap tidak mampu membuat ekonomi tumbuh lebih tinggi. Bahkan, dikhawatirkan ekonomi melambat pasca-Lebaran, karena tidak ada lagi motor penggerak konsumsi yang signifikan,” katanya.

Editorial Team